Header Ads

Hadits Dha'if - Syarah Manzhumah al-Baiquni

 


 

H{adi>th D{a’i>f

 

 

6 - وَكُلُّ مَـا عَـنۡ رُتۡبَةِ ٱلۡحُسۡنِ قَصُرۡ          فَهۡوَ ٱلضَّـعِيفُ وَهۡوَ أَقۡسَامًا كَثُرۡ

Dan setiap (h}adi>th) yang tingkatannya di bawah h}adi>th h}asan adalah h}adi>th d}a’i>f dan ia banyak macamnya

(ٱلضَّعِيفُ) secara bahasa adalah lawan dari ‘kuat’. Lemah terbagi dua yaitu lemah fisik dan lemah secara maknawi. Yang dimaksud pada pembahasan ini adalah lemah secara maknawi.[1]

Imam al-Baiqu>ni> memaknai h}adi>th d}a’i>f dengan (وَكُلُّ مَا عَنۡ رُتۡبَةِ ٱلۡحُسۡنِ قَصُرۡ) ‘setiap (h}adi>th) yang tingkatannya di bawah h}adi>th h}asan’ yaitu h}adi>th yang tidak mencapai derajat h}adi>th h}asan li dha>tih.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa syarat h}adi>th h}asan ada 5, yaitu :

  1.       Sanad bersambung.
  2.       Ra>wi> ‘adil.
  3.       Ringan / kurang sempurna d}abt} dari salah seorang ra>wi> atau lebih.
  4.      Tidak ada sha>dh.
  5.       Tidak ada ‘illah.

Setiap h}adi>th yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat maka disebut sebagai h}adi>th d}a’i>f secara umum, baik d}a’i>f disebabkan sanad tidak bersambung, atau cela pada sifat ‘adil, atau tidak d}abt}. Sampai ra>wi> yang dinilai (متروك) ‘ditinggalkan (riwayat h}adi>thnya)’, (كذاب) ‘pendusta’, h}adi>th sha>dh, h}adi>th munkar, atau selainnya maka disebut h}adi>th d}a’i>f.

Sebagian ulama mendefinisikan h}adi>th d}a’i>f dengan :

الحَدِيثُ الَّذِي لَمْ تُجْتَمَعْ فِيهِ صِفَاتُ الْقَبُولِ

“H{adi>th yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat (h}adi>th) yang diterima”[2]

a.       Contoh h}adi>th d}a’i>f karena sanadnya tidak bersambung:

حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ، مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ: " أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى ‌الْحُمْرَةَ قَدْ ظَهَرَتْ ‌فَكَرِهَهَا "[3]

Telah menceritakan kepada kami Abu> Sa’i>d maula>[4] Bani> Ha>shim, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Abdulla>h bin Ja’far, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Uthma>n ibn Muh}ammad, dari Ra>fi’ ibn Khadi>j, bahwa Rasu>lulla<h s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam melihat al-h}umrah (sejenis kain berwarna merah) dan beliau tidak menyukainya.”

H{adi>th ini d}a’i>f (lemah) karena ‘Uthma>n ibn Muh}ammad tidak mendengar langsung dari Ra>fi’ ibn Khadi>j. Hal ini dapat kita ketahui dengan cara melihat kitab rija>l (biografi tentang ra>wi h}adi>th). Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa ‘Uthma>n ibn Muh}ammad nama lengkapnya adalah ‘Uthma>n bin Muh}ammad bin al-Ahkhnas bin Shuraiq al-Thaqafi> al-Akhnasi>, H{ija>zi>. Beliau berguru (mengambil h}adith) kepada Sa’i>d ibn al-Musayyib, al-A’raj, H{anz}alah bin Qais, Sa’i>d al-Maqburi>, ‘Abdulla>h bin Sa>’idah al-Hudzali>, ‘Abdul Malik bin Abi Bakr.[5] Dari penjelasan Ibnu H{ajar, dapat kita ketahui bahwa ‘Uthma>n ibn Muh}ammad tidak berguru atau mendengar h}adi>th langsung dari Ra>fi’ ibn Khadi>j. Ibnu H{ajar juga menjelaskan bahwa ‘Uthma>n ibn Muh}ammad berada pada tingkatan keenam[6], dalam muqaddimahnya Ibnu Hajar merinci bahwa tingkatan keenam adalah kalangan ta>bi’i>n kecil yang tidak pernah bertemu dengan seorang s}ahabat pun[7], sedangkan Ra>fi’ ibn Khadi>j adalah seorang s}ahabat.

b.      Contoh h}adi>th d}a’i>f karena ketiadaan ‘ada>lah ra>wi> (ra>wi> tidak ‘a>dil):

حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أُمِرْتُ بِرَكْعَتَيِ الضُّحَى، وَلَمْ تُؤْمَرُوا بِهَا، وَأُمِرْتُ بِالْأَضْحَى، وَلَمْ تُكْتَبْ "[8]

Telah menceritakan kepada kami Ha>shim bin al-Qa>sim, telah menceritakan kepada kami Isra>’i>l, dari Ja>bir, dari ‘Ikrimah, dari Ibn ‘Abba>s, ia berkata: Rasu>lulla>h s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan untuk melaksanakan dua raka’at s}alat d}uha, dan kalian tidak diperintahkan. Aku diperintahkan untuk berkurban, namun tidak diwajibkan.”

Seluruh ra>wi> dalam h}adi>th ini adalah thiqah kecuali Ja>bir bin Yazi>d al-Ju’fi>. Ibnu Ma’i>n menilai Ja>bir sebagai pendusta dan tidak boleh ditulis h}adi>thnya. Abu> H{ani>fah juga menilai Ja>bir sebagai pendusta. Adapun al-Nasa>’i> menilai Ja>bir dengan ungkapan matru>k al-h}adi>th (ditinggalkan h}adi>thnya).[9] Dari penilaian para ulama dapat diketahui bahwa Ja>bir bukanlah seorang yang ‘a>dil, sehingga h}adi>th yang diriwayatkannya ini merupakan h}adi>th d}a’i>f.

c.       Contoh h}adi>th d}a’i>f karena adanya ra>wi> yang tidak d}abt}:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ زَيْدٍ الْعَمِّيِّ، عَنْ أَبِي إِيَاسٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لِكُلِّ أُمَّةٍ ‌رَهْبَانِيَّةٌ، وَرَهْبَانِيَّةُ هَذِهِ الْأُمَّةِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ»[10]

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdulla>h ibn Muh}ammad ibn Asma>’, telah menceritakan kepada kami ‘Abdulla>h ibn al-Muba>rak, telah menceritakan kepada kami Sufya>n, dari Zaid al-‘Ammiyy, dari Abi> Iya>s, dari Anas bin Ma>lik, bahwasannya Rasu>lulla>h s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap umat memiliki puncak ibadah, dan puncak ibadah umat ini adalah jihad di jalan Allah.”

Pada sanad h}adi>th ini ada ra>wi> yang bernama Zaid al-‘Ammiyy. Ia dinilai d}a’i>f oleh Ibnu H{ajar[11], Ibnu Ma’i>n dan al-Nasa>’i>. Abu> H{a>tim mengomentarinya dengan ungkapan: “h}adi>thnya lemah, boleh ditulis, namun tidak boleh dijadikan hujjah.”.[12] Kesimpulannya Zaid al-‘Ammiyy adalah ra>wi> yang lemah dari sisi d}abt}.

d.      Contoh h}adi>th d}a’i>f karena sha>dz:

Imam Ah}mad dalam al-Musnad[13] menyebutkan h}adi>th sebagai berikut:

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، فَسُئِلَ سُفْيَانُ: عَمَّنْ؟ قَالَ: هُوَ مَحْمُودٌ إِنْ شَاءَ اللهُ أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ رَجُلًا مَحْجُوبَ الْبَصَرِ، وَأَنَّهُ ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّخَلُّفَ عَنِ الصَّلَاةِ، قَالَ: " هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ؟ "، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَلَمْ يُرَخِّصْ لَهُ

“Telah menceritakan kepada kami Sufya>n, dari al-Zuhri>, Sufya>n ditanya: “dari siapa?” ia menjawab: “dari Mah}mu>d (bin al-Rabi>’) in syaa Allah”, bahwa ‘Itba>n bin Ma>lik merupakan seorang yang tidak dapat melihat (buta). Ia menyebutkan kepada Nabi tentang meningalkan shalat. Nabi bertanya: “apakah engkau mendengar adzan?” ‘Itba>n menjawab: “ya”, ia berkata: “maka ia tidak diberikan keringanan (untuk meninggalkan shalat).”

H{adi>th ini dinilai lemah, meskipun Sufya>n bin ‘Uyainah merupakan seorang yang ‘a>dil dan d}a>bit} namun dalam riwayat ini ia menyelisihi Riwayat ra>wi>-ra>wi> lain yang juga meriwayatkan dari al-Zuhri>. Di antaranya adalah Riwayat berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ الرَّبِيعِ، عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ السُّيُولَ تَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَ مَسْجِدِ قَوْمِي فَأُحِبُّ أَنْ تَأْتِيَنِي فَتُصَلِّيَ فِي مَكَانٍ فِي بَيْتِي أَتَّخِذُهُ مَسْجِدًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " سَنَفْعَلُ "،....[14]

“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’la> bin ‘Abdul A’la> dari Ma’mar, dari al-Zuhri>, dari Mah}mu>d bin al-Rabi>’ dari ‘Itba>n bin Ma>lik bahwasannya ia berkata: “Wahai Rasu>lulla>h aliran air yang menghalangiku dengan masjid kaumku, aku berharap (ingin) agar engkau datang kepadaku lalu shalat di salah satu tempat di rumahku untuk aku jadikan sebagai masjid.” Lalu Rasu>lulla>h menjawab: “akan aku lakukan”…..

Riwayat Sufya>n dari al-Zuhri> menyatakan bahwa Nabi tidak memberikan keringanan kepada ‘Itba>n untuk shalat di rumahnya. Adapun riwayat ra>wi>-ra>wi> lain (di antaranya adalah Ma’mar) menyebutkan bahwa Nabi memberikan keringanan bagi ‘Itba>n untuk shalat di rumahnya, di tempat Nabi shalat. Maka dalam hal ini riwayat Sufya>n dinilai sebagai Riwayat sha>dz dan h}adi>th ini dinilai sebagai h}adi>th yang lemah.[15]

e.       Contoh h}adi>th d}a’i>f karena terdapat ‘illah:

 

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِي عَلِيٍّ الْحَنَفِيِّ، عَنْ هَمَّامٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ ‌وَضَعَ ‌خَاتَمَهُ»، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ وَإِنَّمَا يُعْرَفُ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَنَسٍ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ، ثُمَّ أَلْقَاهُ» وَالْوَهْمُ فِيهِ مِنْ هَمَّامٍ، وَلَمْ يَرْوِهِ إِلَّا هَمَّامٌ "[16]

“Telah menceritakan kepada kami Nas}r bin ‘Ali>, dari Abi> ‘Ali> al-H{anafi>, dari Hamma>m, dari Ibnu Juraij, dari al-Zuhri>, dari Anas, ia berkata: “Nabi jika (akan) masuk ke tempat buang hajat, beliau melepas cincinnya.” Imam Abu Da>wu>d berkata: “H{adi>th ini munkar, dan Riwayat yang dikenal dari Ibnu Juraij, dari Ziya>d bin Sa’d, dari al-Zuhri>, dari Anas, bahwasannya Nabi menggunakan cincin dari perak, kemudian beliau membuangnya”. Keraguan dalam h}adi>th ini adalah dari Hamma>m, dan h}adi>th ini tidak diriwayatkan kecuali dari Hamma>m.

H{adi>th yang menjelaskan bahwa Nabi melepas cincinya ketika akan memasuki tempat buang hajat adalah h}adi>th yang lemah karena adanya ‘illah (penyakit) pada:

1.      Matn-nya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abu> Da>wu>d bahwa matn-nya bertentangan dengan h}adi>th lain yang juga melalui jalur al-Zuhri>.

2.      Sanad-nya, adanya wahm (keraguan) dari Hamma>m sehingga menggugurkan (tidak menyebutkan) ra>wi> bernama Ziya>d bin Sa’d yang terletak di antara Ibnu Juraij dan al-Zuhri>.[17] Ibnu H{ajar menilai Hamma>m sebagai ra>wi> yang (ثقة ربما وهم) ‘terpercaya, terkadang ragu’.[18]

Menjelaskan (menyebutkan) kelemahan pada h}adi>th d}a’i>f merupakan kewajiban pada setiap keadaan, khususnya jika yang menukil / menyebutkan h}adi>th merupakan ulama h}adi>th yang pendapatnya dijadikan rujukan.[19]

Hukum yang berkaitan dengan h}adi>th d}a’i>f secara umum:

1.      H{adi>th d}a’i>f tidak boleh diamalkan, tidak boleh dijadikan hujjah dan dalil dalam permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan akidah, serta permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan halal dan haram.

2.      H{adi>th d}a’i>f yang boleh diamalkan, dijadikan dalil, serta boleh diriwayatkan tanpa menjelaskan tentang kelemahannya dalam bab fad}a>’il (keutamaan-keutamaan), baik yang berkaitan tentang keutamaan perbuatan, keutamaan seseorang, keutamaan tempat atau waktu. Begitu pula dalam hal mawa>’iz} (wejangan-wejangan), kisah-kisah, al-targhi>b wa al-tarhi>b (motivasi dan ancaman). Namun yang paling utama adalah meriwayatkannya dengan s}ighah al-tamri>d} seperti ungkapan (قِيلَ), (رُوِيَ), (ذُكِرَ), atau yang sejenisnya.

Meriwayatkan, mengamalkan, dan berdalil dengan h}adi>th d}a’i>f tidak diperbolehkan kecuali dengan tiga syarat :

a)      D{a’i>fnya tidak parah.

 

حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ الصَّائِغُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ العُمَرِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَا أَوَّلُ مَنْ ‌تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ ثُمَّ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ، ثُمَّ آتِي أَهْلَ البَقِيعِ فَيُحْشَرُونَ مَعِي، ثُمَّ أَنْتَظِرُ أَهْلَ مَكَّةَ حَتَّى أُحْشَرَ بَيْنَ الحَرَمَيْنِ»: " هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَعَاصِمُ بْنُ عُمَرَ الْعُمَرِيُّ لَيْسَ بِالْحَافِظِ عِنْدَ أَهْلِ الحَدِيثِ

 

b)      H{adi>th d}a’i>f tersebut berada di bawah h}adi>th pokok secara umum yang s}ah}i>h} yang boleh diamalkan secara umum dan mencakup h}adi>th d}a’i>f tersebut.

c)      Orang yang mengamalkannya atau meriwayatkannya tidak boleh menetapkan atau memastikan bahwa h}adi>th tersebut dari Nabi .

Kemudian Imam al-Baiqu>ni> menulis (وَهۡوَ أَقۡسَامًا كَثُرۡ ) ‘dan ia (h}adi>th d}a’i>f) banyak macam / jenis / pembagiannya’. Dari pernyataan ini timbul dua pertanyaan:

1.      Apakah seluruh jenis h}adi>th d}a’i>f memiliki tingkat kelemahan yang sama? Tidak, berbeda-beda tingkat kelemahannya. Sebagiannya lebih lemah dari sebagian yang lain.

2.      Apa penyebab perbedaan tingkat kelemahannya? Sebagaimana kes}ah}ih}an h}adi>th yang standarnya kembali kepada kekuatan kedudukan syarat-syarat penerimaan hadits dari sisi sanad dan matn, maka begitu pula dengan kelemahan h}adi>th. Kelemahan h}adi>th standarnya kembali kepada ketidak-terpenuhinya syarat-syarat penerimaan h}adi>th.[20]

 



[1] Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th, h. 78

[2] H{asan Muh}ammad al-Masha>t}, al-Taqri>ra>t..., hal. 16

[3] Ah}mad bin Muh}ammad bin H{anbal, Al-Musnad, Kairo: Da>r al-H{adi>th, 1995. 324/XIII, no. 17207

[4] Bekas budak yang telah dimerdekakan

[5]  Ah}mad bin ‘Ali bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Tahdzib al-Tahdzi>b, Beirut: Mu’asasah al-Risalah, 1995. hal. 78/III

[6] Ah}mad bin ‘Ali bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Taqri>b al-Tahdzi>b, no. 4547, hal. 667.

[7] Ah}mad bin ‘Ali bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Taqri>b al-Tahdzi>b, hal. 82.

[8] Ah}mad bin Muh}ammad bin H{anbal, Al-Musnad, 283/III, no. 2918

[9] Ah}mad bin ‘Ali bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Tahdzib al-Tahdzi>b, 283-284/I

[10] Ah}mad bin ‘Ali bin al-Muthana al-Tami>mi>, Musnad Abi Ya’la> al-Maus}i>li>, Beirut: Da>r al-Ma’mu>n li al-Tura>th, 1986. 210/VII, no. 4204

[11] Ah}mad bin ‘Ali bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Taqri>b al-Tahdzi>b, hal. 352, no. 2143.

[12] Ah}mad bin ‘Ali bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Tahdzib al-Tahdzi>b, 663/I.

[13] Ah}mad bin Muh}ammad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah}mad bin H{anbal, Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1999. 7/XXVII, no. 16480

[14] Ah}mad bin Muh}ammad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah}mad bin H{anbal, 10/XXVII, no. 16482

[15] Ah}mad bin Muh}ammad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah}mad bin H{anbal, 8/XXVII, no. 16480 lihat penjelasan syaikh al-Arnaut} pada catatan kaki. Lihat juga pada T{a>riq bin Muh}ammad Sarda>r ‘Ali, Al-La’a>li’ al-Nu>ra>niyyah ....., hal. 34

[16] Abu> Da>wu>d Sulaima>n bin al-Ash’ath al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da>wu>d, Riyadh: Da>r al-Ma’a>rif, t.th., hal. 9, no. 19

[17] T{a>riq bin Muh}ammad Sarda>r ‘Ali, Al-La’a>li’ al-Nu>ra>niyyah ....., hal. 36

[18] Ah}mad bin ‘Ali bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Taqri>b al-Tahdzi>b, hal. 1024, no. 7369

[19] H{asan Muh}ammad al-Masha>t}, al-Taqri>ra>t..., h. 19

[20] Abu al-H{asan Mus}t}afa>, al-Jawa>hir ..., h. 111

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.