Header Ads

Apakah Umur dapat bertambah disebabkan kebaikan dan Silaturrahmi?



Ayat tentang Ajal
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (QS. A<li ‘Imran: 145)
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)
[lihat juga QS. Yunus: 49, al-Nahl: 61, al-Muna>fiqu>n: 11, Nu>h: 4]
Hadits-hadits yang “sekilas” terkesan bertentangan dengan ayat-ayat tersebut
أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ»
“Anas bin Malik mengabarkan kepadaku, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali silaturrahmi.” (Muttafaq ‘alaih)

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَرُدُّ القَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي العُمْرِ إِلَّا البِرُّ»
“Dari Salman(al-Farisi), ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali do’a, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali kebaikan.” (HR. Al-Tirmidzi: 2139)
Secara sepintas terlihat bahwa dhahir ayat menyatakan bahwa setiap manusia telah ditetapkan batas umurnya sehingga tidak dapat ditambah atau dikurangi. Sebaliknya kedua hadits di atas menyebutkan bahwa silaturrahmi dan kebaikan dapat menambah umur.
Bagaimana cara kita memahami ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut yang sekilas terlihat KONTRADIKSI ?
Dalam menyikapi hal ini, para ulama terbagi menjadi 2 pendapat:
Pertama: Umur benar-benar dapat bertambah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, para ulama’ ahli tahqiq (muhaqqiqin) lebih memilih pendapat ini, diantaranya Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Syaukani, dan selainnya. Namun mereka berbeda dalam memberikan keterangan dan mengkompromikannya:
1.      Bahwasannya penambahan umur sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits adalah berdasarkan catatan malaikat pencatat amal. Adapun yang disebutkan dalam ayat al-Qur’an (yaitu tidak adanya penambahan umur) adalah berdasarkan ilmu Allah. Maka makna hadits tersebut adalah: bahwa penundaan umur merupakan umur yang tercatat di dalam catatannya malaikat, adapun umurnya berdasarkan ilmu Allah maka tidak dapat dimajukan atau ditunda. Ini merupakan pendapat Ibnu hajar, al-Baihaqi, Ibnu Hajar, al-Safarini, ‘Abdurrahman al-Sa’di.
2.      Pendapat kedua, bahwasannya makna hadits: Allah menjadikan silaturrahmi sebagai sebab untuk panjangnya umur, sebagaimana seluruh amal (perbuatan) yang Allah perintahkan  secara syariat, dan Allah telah mengatur balasan perbuatan-perbuatan tersebut dengan ketentuan tertentu. Maka barangsiapa mengetahui jika ia melakukan silaturrahmi maka ajalnya menjadi (bertambah) sampai sekian, dan jika ia memutuskan silaturrahmi ajalnya habis sampai sekian. Semuanya telah selesai ditulis/ditetapkan pada azali, dan pena (penulis takdir) telah kering.
Ini merupakan pendapat al-Thahawi, Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Hazm, al-Zamakhsyari, al-Syaukani, al-Alusi dan Ibnu ‘Utsaimin.
Kedua: Umur tidak dapat bertambah.
Sebagian ulama memahami bahwa hadits tersebut dipahami secara majazi, bukan hakiki. Namun mereka berbeda pendapat dalam memahami kata “bertambah” ke dalam beberapa pendapat:
1.      “Bertambah” merupakan kiasan dari berkahnya umur, disebabkan karena taufik (petunjuk) yang didapatkan oleh pelakunya kepada ketaatan, menjaga waktunya dengan perkara2 yang bermanfaat dan menhindarkan diri dari membuang-buang umur, sehingga ia mendapatkan (keberkahan) pada umurnya yang pendek, yang hal itu tidak didapatkan oleh orang yang umurnya panjang.
Ini merupakan pendapat: Abu Hatim al-Sijistani, Ibn Hibbaan, al-Nawawi dan al-Thiibii.
2.      “Bertambah” merupakan kiasan dari abadinya pujian, namanya disebut2 dengan baik (kebaikannya senantiasa diingat), dan pahala yang berlipat ganda setelah wafatnya, sampai seolah-olah dia belum wafat. Ini pendapat Abu al-‘Abbas al-Qurthubi.
3.      “bertambah umurnya” maknanya bertambah pemahamannya, akalnya, dan pandangannya.
4.      Maksudnya adalah luas rizkinya dan sehat badannya.
5.      Maksudnya ialah ia memiliki keturunan yang shalih yang senantiasa mendo’akannya.

Rajih:
Yang lebih tepat (Insyaa Allah) adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa umur dapat bertambah dan ajal diakhirkan namun bukan ajal yang ada dalam “Ilmu Allah”. Ajal tidak dapat diundur apabila telah datang, jika sebelum datang maka dapat diundur kedatangannya. Wallaahu A’lam..
By: Abu Ahmad

[Disadur dari kitab Al-Ahadits al-Musykilat al-waridat fi Tafsiir al-Qur’an al-Karim ‘Ardh wa Diraasat, Ahmad bin Abd al-Aziz bin Muqrin al-Qushayyir, Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 1430 H., hal. 69-88]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.