Apakah seluruh perkataan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berasal dari Wahyu?
Ayat yang mengesankan bahwa seluruh
perkataan Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- berasal
dari wahyu:
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ
هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” [al-Najm: 3-4]
Hadits yang mengesankan secara
zhahir bertentangan dengan ayat di atas:
عَنْ
مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ مَرَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْمٍ عَلَى رُءُوسِ النَّخْلِ فَقَالَ مَا
يَصْنَعُ هَؤُلَاءِ فَقَالُوا يُلَقِّحُونَهُ يَجْعَلُونَ الذَّكَرَ فِي
الْأُنْثَى فَيَلْقَحُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَا أَظُنُّ يُغْنِي ذَلِكَ شَيْئًا قَالَ فَأُخْبِرُوا بِذَلِكَ فَتَرَكُوهُ
فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ فَقَالَ
إِنْ كَانَ يَنْفَعُهُمْ ذَلِكَ فَلْيَصْنَعُوهُ فَإِنِّي إِنَّمَا ظَنَنْتُ
ظَنًّا فَلَا تُؤَاخِذُونِي بِالظَّنِّ وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنْ اللَّهِ
شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّي لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه
مسلم)
“Dari Musa bin Thalhah, dari ayahnya, ia berkata: aku
berjalan bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melewati suatu kaum yang
sedang berada di puncak pohon kurma. Lalu Rasulullah bertanya: apa yang mereka
lakukan? Para shahabat menjawab: mereka menyerbukkan / mengawinkan kurma jantan
ke kurma betina. Kemudian Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: aku duga hal
tersebut tidak bermanfaat sama sekali. Ia berkata: kemudian mereka dikabarkan
tentang sabda Nabi tersebut, kemudian mereka meninggalkan perbuatannya. Kemudian
Rasulullah dikabarkan tentang hal itu. Lalu beliau bersabda: jika hal itu
(penyerbukan) bermanfaat bagi mereka, maka hendaknya mereka melakukannya. Karena
sesungguhnya aku hanya menduga-duga, maka jangan jadikan dugaanku sebagai
pedoman. Tetapi jika aku berkata kepada kalian tentang Allah, maka jadikan ia
pedoman karena aku tidak akan berdusta atas (nama) Allah ‘Azza wa Jalla” [hadits riwayat Muslim]
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ
يُلَقِّحُونَ فَقَالَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا
فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ مَا لِنَخْلِكُمْ قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ (رواه مسلم)
“Dari Anas bin Malik, bahwasannya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan
pohon kurma. Lalu Nabi bersabda: seandainya mereka tidak melakukannya pun
kurmanya tetap bagus. Ia berkata: kemudian benih biji yang keluar jelek (tidak
kuat). Kemudian Nabi melewati mereka, lalu bertanya: apa yang terjadi pada
pohon kurma kalian? Mereka menjawab: engkau berkata demikian dan demikian. Nabi
bersabda: kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian” [hadits riwayat
Muslim]
Sisi pertentangan antara ayat dan
hadits: zhahir ayat menyatakan bahwa setiap perkataan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- merupakan
wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Adapun hadits mengesankan berbeda dengan
zhahir ayat. Di hadits disebutkan bahwa perkataan Nabi tentang penyerbukan
(mengawinkan) pohon kurma hanya berdasarkan ijtihad beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Cara yang
digunakan para ulama dalam menolak adanya pertentangan antara ayat dan hadits:
Para ulama
yang merupakan pemuka kaum muslimin sepakat menyatakan bahwa para nabi,
termasuk Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah ma’shum (terjaga / terlindungi) dari kesalahan menyangkut
yang beliau sampaikan/dakwahkan dari Allah tentang hukum-hukum, sebagaimana
dalam surah al-Najm: 3-4. Oleh karena itu Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ma’shum
dalam setiap yang beliau sampaikan dari Allah tentang syariat-syariat baik
secara perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
Para ulama sepakat bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- boleh
untuk berijtihad dalam perkara-perkara dunia.
Namun mereka berbeda pendapat
tentang kebolehan Nabi berijtihad dalam perkara-perkara agama, ke dalam dua
kelompok:
Kelompok pertama: boleh. Ini merupakan pendapatnya seluruh ahli ushul, yaitu madzhab
Malik, al-Syafi’i, Ahmad dan seluruh ahli hadits.
Kelompok kedua: tidak boleh. Ini merupakan pendapatnya madzhab al-Asy’ariyyah,
mayoritas Mu’tazilah dan ahli kalam.
Adapun cara yang ditempuh oleh para
ulama untuk memahami hadits yang terkesan bertentangan dengan ayat al-Qur’an
tersebut adalah dengan satu cara yaitu mengkrompomikan antara keduanya. Ini sikap
yang diambil oleh para ahli tafsir dan ahli hadits. Bahwasannya makna “Dan tiadalah
yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya” bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak
mengatakan sesuatu pun dari hawa nafsunya, dan beliau tidak berkata dengan hawa
nafsu. Makna “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” Yaitu bahwa
setiap yang beliau ucapkan dari perkara-perkara agama merupakan wahyu dari
Allah. Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- ma’shum dari kesalahan dalam setiap yang beliau
sampai tentang Allah dari perkara-perkara agama. Seperti dalam hukum-hukum
syariat, berita tentang perkara-perkara ghaib dan umat-umat terdahulu. Adapun tentang
penyerbukan pohon kurma sebagaimana hadits yang telah disebutkan, maka itu
termasuk dari perkara-perkara dunia yang tidak berhubungan dengan agama, dan
pendapat beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam masalah dunia sama
dengan orang lain yang tidak mustahil terjadi kesalahan, dan hal ini tidak
mencoreng kemukjizatannya –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dan tidak mengurangi kedudukan beliau.
Para ulama
yang berpendapat demikian adalah: al-Thahawi, Ibnu Hazm, al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu
al-Jauzi, Abu al-‘Abbas al-Qurthubi, al-Nawawi, al-Baidhawi, Syaikh al-Islam
Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, al-Munawi, al-Alusi, al-Syinqithi, Ibnu Baz dan
Ibnu ‘Utsaimin.
Adapun
perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: yang berkaitan dengan perkara
syariah dan dakwah tentang Allah, maka hal ini ada dua keadaan:
1.
Berdasarkan
dengan wahyu dari Allah. Hal ini tidak mungkin terjadi kesalahan, ini dinamakan
oleh ulama dengan al-khabar al-ma’shum. Dalam makna ini lah ayat yang
telah disebutkan dipahami.
2.
Berdasarkan
dengan ijtihad dari beliau –shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Hal ini tidak terlepas dari dua keadaan, yaitu menetapkan/menguatkan
wahyu dari Allah atau Allah bimbing kepada kebenaran. Kedua hal ini masuk dalam
hukum wahyu.
Kedua: yang berkaitan dengan perkara-perkara dunia. Dalam hal ini
keputusannya tidak dikaitkan dengan kenabian dan dakwah, namun seperti manusia
yang lainnya, jadi mungkin terjadi kesalahan atau kebenaran. Dalam konteks ini
lah hadits (yang telah disebutkan) dipahami.
Disarikan dari kitab al-Ahadits al-Musykilah al-Waridah fi
Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Ahmad bin Abdul Aziz bin Muqrin
al-Qushayyir, penerbit: Dar Ibnu al-Jauzi, Saudi: 1430 H. hal. 439 – 444.
~Abu Ahmad, Ayatullah~
Lubuk Buaya, Kota Padang
01:41 | Ahad, 12 Nov 2017
Tidak ada komentar