Header Ads

0019 & 0020. Seputar Hukum Penggunaan Wadah Orang Kafir atau Musyrik – Kitab Bulughul Maram

(gambar mazaadah)
وَعَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: - قُلْتُ: يَا رَسُولَ الْلَّهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟] فَ] قَالَ: "لَا تَأْكُلُوا فِيهَا، إِلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا فِيهَا" - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dan dari Abu Tsa’labah al-Khuzyani -semoga Allah meridhainya-, ia berkata: aku bertanya: “Wahai Rasulullah, kami berada di daerah kaum Ahli Kitab, apakah kami boleh makan menggunakan wadah/bejana mereka?” Kemudian Rasulullah menjawab: “Janganlah kalian makan menggunakannya, kecuali jika kalian tidak menemukan selainnya, maka cucilah wadah tersebut, dan mekanlah menggunakannya.” [Muttafaq ‘alaih]
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا؛ - أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ اِمْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ.
Dan dari ‘Imran bin Hushain –semoga Allah meridhai keduanya-; bahwasannya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para shahabatnya berwudhu dari tempat air wanita musyrik. [Muttafaq ‘alaih], dalam hadits yang panjang.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/152-165):
Penjelasan hadits pertama:
(قوم) sekelompok [jama’ah] manusia, khususnya laki-laki karena biasanya mereka menjadi pembesar dan orang penting. (أَهْلِ كِتَابٍ) sifat bagi suatu kaum, maksud al-Kitaab di sini adalah Taurat dan Injil dan ahli-nya adalah Yahudi dan Nashrani. Faidah hadits:
a)      Larangan makan menggunakan tempat (bejana) Ahli Kitab [Yahudi dan Nashrani]; karena mereka tidak menjauhkan diri dari berbagai najis; sehingga boleh jadi mereka gunakan untuk menaruh khamr atau daging babi, maka sebagai bentuk sikap kehati-hatian adalah menjauhinya.
b)      Wadah-wadah orang musyrik dan kafir maka lebih utama untuk ditinggalkan. Karena Ahli Kitab lebih dekat kepada kebenaran dari pada orang kafir, karena mereka mempelajari ajaran samawi, berbeda dengan orang kafir, sehingga orang kafir lebih dekat kepada najis.
c)      Jika seorang muslim butuh wadah dan tidak mendapatkan wadah selain milik orang kafir, maka sebelum memakainya ia harus mencucinya agar yakin tentang kesuciannya.
d)     Bolehnya saling tukar-menukar manfaat dan maslahat dari orang kafir; karena hal ini hanya berhubungan dengan mu’amalah dan penunaian hak tetangga atau kekerabatan atau selainnya, yang tidak berhubungan dengan kecondongan hati atau rukun keyakinan mereka.
e)      Toleransi (lemah lembut) dan kemudahan syariat. Seorang muslim harus menjauhi segala hal yang meragukan “Tinggalkanlah yang meragukanmu kepada yang tidak meragukan”. Jika seseorang membutuhkan sesuatu yang belum pasti keharamannya maka tidak mengapa ia memanfaatkannya selama ia membutuhkannya.
f)       Hadits ini menunjukkan keharaman khamr. Dalam riwayat Imam Abu Dawud:
عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ يَطْبُخُونَ فِي قُدُورِهِمْ الْخِنْزِيرَ وَيَشْرَبُونَ فِي آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوا فِيهَا وَاشْرَبُوا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا غَيْرَهَا فَارْحَضُوهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
Dari Abi Tsa’labah al-Khusyani, bahwasannya ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “sesungguhnya kami berkunjung ke (daerah) Ahli Kitab, mereka memasak babi di kuali mereka dan minum khamr di wadah/bejana mereka.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “jika kalian menemukan yang lainnya maka makan dan minumlah menggunakannya, namun jika tidak maka cucilah dengan air kemudian makanlah menggunakannya”.

Penjelasan hadits kedua:
(مَزَادَةِ) wadah bekal musafir, tempat air yang dipintal untuk perbekalan; ia terbuat dari 2 kulit dan ditambah kulit yang ketiga agar lebih luas. Faidah hadits:
a)      Bolehnya memakai kulit bangkai setelah disamak sampai untuk benda cair (air minum). Oleh karena itu, Nabi wudhu dari tempat itu dan ridha kepada para shahabat yang menggunakannya.
b)      Air yang berada di dalam kulit bangkai yang disamak adalah suci. Sembelihan orang musyrik dihukumi sebagai bangkai dan najis, namun samak membuatnya menjadi suci.
c)      Sembelihan orang musyrik dihukumi sebagai bangkai karena tidak dengan cara syari’i.
d)     Wadah orang kafir yang tidak diketahui keadaannya adalah suci; karena hukum asalnya adalah suci dan tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan dalam pemakaiannya.

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam kitabnya Tas-hiil al-Ilmaam bi fiqh al-Ahadits min Bulugh al-Maram (I/80-86):
Abu Tsa’labah merupakan kunyah, nama sebenarnya diperselisihkan oleh ulama, ada yang mengatakan: Jurtsum bin Nasyir, ada pula yang mengatakan Jurhum bin Nasyir. Al-Khusyani adalah nisbah kepada Khusyain, sebagaimana al-Qurasyi merupakan nisbah kepada Quraisy.
Yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah orang Yahudi dan Nashrani, adapun orang kafir selain keduanya maka disebut al-watsaniyyun (para penyembah berhala). Daerah Ahli Kitab maksudnya adalah daerah Syam karena penghuninya banyak yang ahli kitab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan mereka makan menggunakan wadah Ahli Kitab dengan dua syarat, yaitu: pertama, tidak ada selainnya. Kedua, dicuci dengan air sebelum menggunakannya. Maka secara zhahir hadits dari Abu Tsa’labah adalah larangan untuk menggunakan wadah orang kafir kecuali dengan dua syarat tersebut. Seandainya wadah Ahli Kitab dilarang untuk digunakan maka menggunakan wadah orang kafir selain mereka tentu lebih utama (untuk dilarang).
Hadits dari ‘Imran bin Hushain diringkas oleh Ibnu Hajar, pada asalnya ia adalah hadits yang panjang. Pada asalnya adalah Nabi bersafar dengan para shahabat, lalu mereka kehabisan air. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Ali dan seorang lelaki lain untuk mencari air. Lalu mereka bertemu dengan seorang wanita di atas unta tunggangannya dengan membawa sathihatain (dua tempat bekal) (yang ia ikatkan di punggung binatang tunggangan), lalu keduanya bertanya kepada wanita tersebut tentang air. Keduanya mengira bahwa sumber airnya dekat. Namun wanita tersebut menjawab: “aku dapatkan kemarin pada saat yang sama seperti hari ini”. Hal ini menunjukkan bahwa (sumber) airnya jauh. Keduanya lalu melapor ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengambil sedikit air dari setiap wadahnya. Kemudian para shahabat dipanggil dan dikatakan: “minumlah dan mintalah minum”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dalam air. Dalam riwayat lain: beliau meludah ke dalamnya, lalu Allah menjadikan keberkahan padanya. Sampai seluruh shahabat (pasukan) minum dengan puas dan berwudhu dengan air tersebut dan mereka juga mengambil airnya untuk perbekalan. Ini merupakan suatu mukjizat, Allah menjadikan suatu yang sedikit menjadi banyak melalui tangannya.
Intinya kedua hadits tersebut (hadits Abu Tsa’labah dan hadits ‘Imran bin Hushain) terdapat perbedaan. Hadits Abu Tsa’labah menunjukkan larangan menggunakan wadah orang kafir kecuali ada kebutuhan dan harus dicuci sebelum memakainya. Adapun hadits Imran menunjukkan bolehnya menggunakan wadah orang kafir, minum dan wudhu darinya dengan tanpa syarat apapun.
Hadits ‘Imran memiliki banyak penguat. Oleh karena itu, hadits Abu Tsa’labah dipahami bahwa perintah untuk mencucinya terlebih dahulu adalah dalam hal istihbab (sunnah/disukai) dan kehati-hatian, bukan dalam hal kewajiban. Adapun sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mencucinya karena orang Ahli Kitab tersebut diketahui menggunakannya untuk memasak daging babi dan minum khamr, adapun jika tidak disaksikan secara langsung bahwa mereka menggunakannya untuk yang najis, maka hukum asalnya barang tersebut adalah suci.
Adapun maksud dari firman Allah dalam surah al-Taubah ayat 28:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ ٢٨
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini.”
Maksudnya najis disini adalah kemusyrikan, bukan najis badan. Najisnya syirik adalah najis ma’nawi (abstrak) bukan najis hissiyyah (konkret).
Pendapat yang tepat sebagaimana yang dipegang oleh mayoritas ulama adalah bahwa wadah orang kafir yang mereka gunakan, pakaian yang mereka kenakan, semua (benda-benda) yang mereka buat, hukum asalnya adalah suci.
Beberapa faidah dari kedua hadits ini:
·         Hadits Abu Tsa’labah menunjukkan disyariatkannya untuk bertanya kepada ahli ilmu jika dalam kesulitan/kebimbangan.
·         Larangan untuk menggunakan wadah Ahli Kitab jika mereka gunakan, kecuali dengan dua syarat: tidak ditemukan wadah yang lain dan harus dicuci dengan air sebelum menggunakannya.
·         Menurut mayoritas ulama, larangan tersebut adalah untuk memakruhkan, bukan untuk mengharamkan karena adanya dalil hadits ‘Imran bin Hushain.
·         Hadits ‘Imran bin Hushain menunjukkan salah satu mukjizat Rasulullah.
·         Hadits ‘Imran bin Hushain menunjukkan bahwa kulit bangkai binatang dapat disucikan dengan disamak, karena mazadah (wadah airnya) berasal dari kulit binatang sembelihan kaum musyrikin sehingga dihukumi bangkai.
·         Hadits ‘Imran bin Hushain menunjukkan bolehnya menggunakan wadah orang musyrik secara mutlak (menyeluruh), tanpa ada syarat jika tidak ada yang lain dan tanpa perlu dicuci terlebih dahulu.

Imam al-Nawawi dalam Kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj mengatakan :
أن المراد النهى عن الأكل فى آنيتهم التى كانوا يطبخون فيها لحم الخنزير ويشربون الخمر كما صرح به فى رواية أبى داود وإنما نهى عن الأكل فيها بعد الغسل للاستقذار وكونها معتادة للنجاسة كما يكره الأكل في المحجمة المغسولة وأما الفقهاء فمرادهم مطلق آنية الكفار التى ليست مستعملة فى النجاسات فهذه يكره استعمالها قبل غسلها فإذا غسلت فلا كراهة فيها لأنها طاهرة وليس فيها استقذار ولم يريدوا نفى الكراهة عن آنيتهم المستعملة فى الخنزير وغيره من النجاسات والله أعلم
Intinya bahwa yang dilarang oleh Rasulullah untuk menggunakan wadah orang Ahli Kitab adalah jika mereka menggunakannya untuk memasak daging babi dan minum khamr sebagaimana dijelaskan dalam riwayat imam Abu Dawud. Adapun maksud pendapat para ahli fiqih adalah secara mutlak, wadah orang kafir yang tidak digunakan untuk najis maka makruh untuk digunakan sebelum dicuci, adapun setelah dicuci maka tidak makruh karena ia suci.


~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Lubuk Buaya, Kota Padang
23:50 | Ahad, 19 November 2017


2 komentar:

  1. Dalam hadits dari sahabat husein... Secra makna apa yang dimaksud dengan Najis itqodi dan najis hisiyah ?

    BalasHapus
  2. Najis i'tiqadi = aqidahnya tercampur kesyirikan..
    Najis hissiyyah = najis yg konkret / berwujud dan tampak, misal: kotoran manusia, dll.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.