Bangkai dan Darah yang Dihalalkan - Hadits Kesebelas – Kitab Bulughul Maram
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - أُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ, فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ,
وَأَمَّا الدَّمَانُ: فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ - أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ
مَاجَهْ, وَفِيهِ ضَعْفٌ.
Arti:
“Dan
dari Ibnu ‘Umar – radhiyallaahu ‘anhu –, ia berkata: Rasulullah – shallallaahu
‘alaihi wa sallam – bersabda: dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua
darah. Adapun dua bangkai adalah belalang dan ikan. Adapun dua darah adalah limpa
dan hati/liver.” [Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah. Dan padanya ada
kelemahan]
Penjelasan:
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam kitabnya Tas-hiil
al-Ilmaam bi fiqh al-Ahadits min Bulugh al-Maram (I/53-57) menjelaskan:
Penulis (Ibnu Hajar) mengatakan وَفِيهِ ضَعْفٌ
‘padanya ada kelemahan’, karena di dalam riwayatnya ada rawi
yang bernama Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah orang yang ditinggalkan
riwayatnya, sebagaimana dikatakan oleh imam Ahmad. Ini yang menyebabkan hadits
ini dihukumi dha’if (lemah). Namun hadits ini memiliki penguat dari
dalil-dalil yang baik baik dari al-Qur’an maupun sunnah. Adapun halalnya ikan
laut telah ditunjukkan sebagaimana hadits terdahulu: هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
‘(laut itu) airnya suci dan mensucikan dan bangkai (binatang yang
ada di dalamnya) halal’ dan juga sebagaimana di dalam al-Qur’an:
أُحِلَّ لَكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَحۡرِ
وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعٗا لَّكُمۡ وَلِلسَّيَّارَةِۖ ٩٦
96.
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut
sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; [al-Maidah:
96]
Adapun
mengenai halalnya belalang, ditunjukkan oleh hadits shahih, Ibnu Abi Aufa
mengatakan:
غَزَوْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ أَوْ سِتًّا كُنَّا نَأْكُلُ مَعَهُ الْجَرَادَ
“Kami
berperang bersama Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam –, tujuh
atau enam kali peperangan dan kami bersama beliau memakan belalang”
[Muttafaq ‘alaih]
Hadits
ini menjadi penguat (syahid) dari hadits Ibnu ‘Umar.
Jika kita lihat dari sisi yang lain, maka kita dapati bahwa hadits
ini diriwayatkan secara marfu’ (disandarkan ke Nabi), -sebagaimana
dinukil oleh penulis (Ibnu Hajar)- dan ada juga yang diriwayatkan secara mauquf
(disandarkan kepada shahabat) kepada Ibnu ‘Umar, dan dinilai kuat oleh
al-Baihaqi dan selainnya.[1] Hal ini
dijawab oleh ahli ilmu, berkata Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad (III/392):
hadits ini hasan. Hadits ini mauquf dihukumi marfu’. Karen
perkataan shahabat ‘dihalalkan bagi kami begini, dan diharamkan bagi kami
begini’ ditujukan kepada penghalalan dan pengharaman yang dilakukan oleh Nabi.
(أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ)
maknanya adalah bahwasannya pembuat syariat mengizinkan kepada kita dan
memubahkan kepada kita semua yang disebutkan dalam hadits. Bangkai adalah
berpisahnya nyawa hewan tanpa disembelih dengan cara yang sesuai syariat. Hukum
bangkai adalah haram, sebagaimana dalam al-Qur’an:
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ
وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ ٣
3. “Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,” [al-Maidah: 3]
Dan juga
dalam surah al-Nahl: 115 dan al-An’am: 145 serta ayat-ayat lain yang banyak
jumlahnya yang mengharamkan bangkai yaitu yang mati tanpa disembelih sesuai
syariat, boleh jadi mati karena sendirinya atau disembelih oleh orang yang
tidak seharusnya seperti penyembah patung, atau disembelih oleh orang yang
seharusnya, namun tidak memenuhi syarat yang lain. Menyembelih yang sesuai
dengan syariat memiliki beberapa syarat:
·
Penyembelih harus
seorang muslim atau ahli kitab.
·
Alat yang
digunakan untuk menyembelih harus bagian yang tajamnya bukan yang tumpul, serta
bukan dengan kuku atau tulang.
·
Harus memutuskan
sesuai ketentuan yaitu harus terpotong 2 urat leher (tempat mengalirnya darah),
tenggorokan (tempat mengalirnya nafas) dan kerongkongan (tempat berjalannya
makanan dan minuman). Dalam menyembelih, keempat hal ini harus terpotong. Adapun
jika yang terpotong hanya tiga maka telah dianggap sah (misalnya terpotong
tenggorokan, kerongkongan dan salah satu urat leher). Adapun jika yang
terpotong kurang dari tiga, maka ulama berbeda pendapat. Imam al-Syafi’i dan
Ahmad mensyaratkan terpotongnya tenggorokan dan kerongkongan. Dan tidak
diragukan lagi bahwa terpotongnya empat bagian itu merupakan tindakan yang
paling hati-hati dan sempurna.
·
Harus disebutkan
nama Allah (ketika menyembelih), ini merupakan syarat meyoritas ulama.
Dalam hadits ini dikatakan (أُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ) ‘dihalalkan bagi kita dua bangkai’,
maka hadits ini merupakan hadits yang mengkhususkan dari keumuman haramnya
bangkai. Bangkai yang dihalalkan adalah bangkai belalang dan ikan yang keduanya
tidak perlu untuk disembelih. Oleh karena itu bagaimana pun penyebab kematian
keduanya maka hukumnya tetap halal. (الْحُوتُ)
mencakup seluruh jenis ikan baik yang besar maupun yang kecil dan juga mencakup
setiap hewan yang hanya hidup di laut.
(وَدَمَانِ)
‘dan dua darah’. Hukum asal darah adalah haram sebagaimana dalam surah
al-Baqarah: 173 [begitu pula dalam surah al-Ma’idah: 96], dan juga dalam surah
al-An’am: 145:
إِلَّآ أَن يَكُونَ
مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا ١٤٥
“kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”
Masfuh adalah
darah yang mengalir dari urat leher hewan ketika disembelih, ini hukumnya haram
dan najis menurut kesepakatan para ulama. Adapun darah yang menetap di daging,
maka dimaafkan (diberikan toleransi), karena para shahabat mereka memakannya
dan mereka menaruhnya di kuali dalam kondisi daging yang masih ada darahnya,
dan mereka mengatahui darah yang memerciki air dan Nabi tidak memerintahkan
mereka untuk mencucinya. Tidak diragukan bahwa menghilangkan (seluruh) darah
yang menempel/menetap di daging adalah sulit, dan Allah tidak menyulitkan kaum
muslimin dalam perkara agama mereka. Pada hadits ini yang dikecualikan adalah
dua darah yaitu hati/liver dan limpa.
Faidah yang dapat diambil dari hadits ini:
·
Bangkai hukumnya
haram, menurut kesepakatan. Ini merupakan hukum asal dari bangkai.
·
Bangkai ikan
dan belalang adalah halal, ini merupakan pengecualian dari hukum asal.
·
Jika ikan dan
belalang mati di dalam air, maka airnya tidak menjadi najis. Ini alasan hadits
ini disebutkan di dalam Kitab Thaharah di bab tentang air. Namun berbeda
jika ada binatang darat yang mati, seperti kambing atau unta di dalam air maka
hukum airnya berubah menjadi najis. Ahli fiqih juga berpendapat bahwa seluruh
hewan yang tidak memiliki darah, seperti serangga dan kumbang jika mati di
dalam air, maka airnya tidak menjadi najis.
·
Darah hukumnya
haram, menurut kesepakatan. Ini merupakan hukum asal dari darah.
·
Hati/liver dan
limpa dikecualikan dari hukum asal.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih
al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/144-146):
Hadits ini dha’if secara marfu’ (jika disandarkan ke
Nabi), namun shahih secara mauquuf (disandarkan pada shahabat),
tetapi hadits ini dihukumi marfu’ karena perkataan shahabat “dihalalkan
bagi kami ....” atau “diharamkan bagi kami...” atau “kami diperintahkan ....”
atau “kami dilarang ...” menunjukkan marfu’ secara hukum.
(مَيْتَتَانِ)
merupakan bentuk mutsannaa, adapun bentuk mufradnya adalah (ميتة) dengan mensukunkan huruf ya’,
adapun jika ditasydidkan maka maknanya adalah “yang mati dengan
sendirinya (selain disembelih) atau disembelih namun tidak sesuai syariat. Ibnu
Daqiiq: baik ya’ nya disukunkan atau ditasydidkan maknanya
sama dalam tujuan pemakaian.
(دَمَانِ)
bentuk mufradnya (دَم)
yakni selain darah yang mengalir yang dipompa dari jantung ke seluruh anggota
tubuh.
(أَمَّا)
merupakan huruf tafshil yang mengandung makna “syarat”, jawabannya harus
dihubungkan dengan “fa”. (قلب) adalah jantung. (كَبِدُ) adalah hati/liver, organ yang terletak di
perut sebelah kanan. (طِحَالُ)
adalah limpa, organ yang terletak di perut sebelah kiri.
Faidah hadits:
a)
Haramnya darah
yang mengalir; diambil kesimpulan dari mubahnya 2 darah yang disebutkan
dalam hadits. Pengecualian dihalalkannya bagian dari sesuatu menunjukkan
pengharaman selainnya, dan ada pula dalil-dalil yang lain.
b)
Haramnya
bangkai; yaitu hewan yang mati dengan dengan sendirinya (tanpa disembelih) atau
yang disembelih tidak sesuai syariat.
c)
Hati (liver)
dan limpa adalah halal dan suci.
d)
Bangkai
belalang dan ikan adalah halal dan suci. Bangkai belalang yang dimaksud adalah
belalang yang mati dengan sendirinya atau keadaan alam, bukan karena perbuatan
manusia, jika matinya karena perbuatan manusia maka telah ada nash dan ijma’
akan kehahalannya. Apabila ada bangkai baik belalang maupun ikan yang ditemukan
mati karena keadaan alam maka halal, adapun jika matinya karena racun atau
limbah sampah (yang berbahaya) maka menjadi haram. Keharaman ini bukan karena
dzatnya, namun karena penyebab kematiannya dan berbahaya jika dikonsumsi.
e)
Hadis ini
menunjukkan bahwa jika ada bangkai belalang atau ikan di dalam air, maka airnya
tidak najis, baik sedikit maupun banyak, meskipun sampai merubah salah satu
dari tiga sifatnya, karena yang mencampuri air adalah benda yang suci. Ini
tujuan diletakkannya hadis ini di bab ini.
~ Abu Ahmad ~
Lubuk Buaya, Kota Padang
06:11 | Jum’at, 3 November 2017
[1]
Haditsnya yang mauquf kepada Ibnu Umar, adalah:
أَخْبَرَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ وَأَبُو الْحُسَيْنِ : عَلِىُّ بْنُ مُحَمَّدٍ
السَّبِيعِىُّ فِى آخَرِينَ قَالُوا أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ
بْنُ يَعْقُوبَ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ :
الْجَرَادُ وَالْحِيتَانُ وَالْكَبْدُ وَالطِّحَالُ.
وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ وَهُوَ فِى
مَعْنَى الْمُسْنَدِ. وَقَدْ رَفَعَهُ أَوْلاَدُ زَيْدٍ عَنْ أَبِيهِمْ.
Al-Baihaqi mengatakan:
hadits ini sanadnya shahih. Hadits ini semakna dengan yang di al-Musnad, hadits
yang diriwayatkan secara marfu’ oleh anak-anaknya Zaid dari ayahnya. [al-Sunan
al-Kubra li al-Baihaqi]
Tidak ada komentar