Hukum Potongan Daging Binatang Hidup - Hadits Ketiga Belas – Kitab Bulughul Maram
وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اَللَّيْثِيِّ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ
اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - - مَا قُطِعَ مِنْ اَلْبَهِيمَةِ -وَهِيَ
حَيَّةٌ- فَهُوَ مَيْتٌ - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ,
وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ, وَاللَّفْظُ
لَهُ.
Arti:
“Dari Abi Waqid al-Laitsi – radhiyallaahu ‘anhu –, ia
berkata: Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: Bagian
yang terpotong dari bahiimah (sedangkan ia dalam keadaan hidup) maka (ia
dihukumi sebagai) bangkai.” [Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan
al-Tirmidzi menilainya hasan, dan lafal ini miliknya]
Penjelasan:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih
al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/150-151):
Hadits ini hasan.
(اَلْبَهِيمَة) merupakan semua
binatang yang berkaki empat baik di darat maupun air (laut) selain binatang
buas (pemangsa). (وَهِيَ
حَيَّةٌ) huruf waw menunjukkan keadaan,
sehingga maknanya: bahiimah ini dalam keadaan hidup. (مَيْتٌ) dengan men-sukun-kan
huruf ya’, karena ia telah benar-benar dikaitkan dengan kematian yang
sesungguhnya. Faidah hadits:
a)
Bagian
yang terpotong dari bahiimah ketika hewannya masih hidup maka (hukumnya)
seperti bangkainya, baik kesuciannya maupun kenajisannya, baik kehalalannya
ataupun keharamannya. Potongan dari bahiimah al-an’am sedangkan hewannya masih
hidup (ketika dipotong) maka najis dan haram dimakan.
b)
Ibnu
Taimiyah: hal ini disepakati oleh ulama.
c)
Pengecualian:
fa’r misk yang terpotong dan terpisah dari gazzaal (kijang) misk.
Termasuk pengecualian juga adalah binatang yang melarikan diri/buruan yang
tidak bisa/sulit untuk menyembelihnya, lalu orang-orang memotongnya sebisanya
sehingga hewannya mati.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Fath dzi
al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram (I/111-114 dengan
ringkasan) menjelaskan:
(اَلْبَهِيمَةِ) setiap hewan adalah al-bahiimah,
dan bahiimah berasal dari kata al-ibham (samar/tidak jelas).
Setiap hewan adalah samar/tidak jelas dan tidak diketahui yang dibicarakannya,
meskipun sebagian hewan memiliki suara tertentu/khas yang diketahui oleh orang
tujuan dari suara itu. Misalnya kucing mengeluarkan suara tertentu/khas ketika
memanggil anak-anaknya, begitu juga ayam jago memanggil ayam betina, namun
mereka tidak berbicara atau tidak dipahami (oleh manusia). Oleh karena itu
seluruh hewan adalah bahiimah.
Dari hadits ini, para ulama
mengambil kaidah (ما ابين من حي فهو كميتته)
“semua yang terpisah/terpotong dari yang hidup maka hukumnya sebagaimana
bangkainya”. Maka yang terpotong dari bahiimah adalah najis dan haram,
yang terpotong dari ikan dan belalang adalah suci dan halal, dan yang terpotong
dari manusia adalah suci dan tidak halal.
Sabab wurud hadits ini adalah ketika Nabi di Madinah, beliau mendapati
orang-orang Madinah memotong punuk unta dan bokong domba karena gemuk/berlemak
dan hewan tersebut dalam keadaan hidup.
Faidah hadits:
a)
Jika
seorang yang berilmu mendapati keadaan di masyarakat yang bertentangan dengan
hukum syariat, maka ia harus/wajib untuk menjelaskannya, sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah.
b)
Bagian
yang terpotong dari hewan dihukumi najis dan haram. Namun jika seseorang
memotong bagian tertentu dari hewan untuk kebaikan hewan dan pemiliknya, maka
hukumnya boleh. Misalnya mengebiri agar hewan menjadi gemuk. Seseorang juga
boleh untuk memotong suatu bagian dari hewan hanya untuk kebaikan pemiliknya.
Dalilnya adalah al-wasm (memberi tanda/cap dengan besi panas).
Sebagaimana dalam hadits al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah yasummu
al-ibil al-shadaqah (memberi tanda unta shadaqah).
c)
Semangat
Nabi dalam berdakwah dan menyampaikan petunjuk, karena ketika Nabi mengetahui
hal ini, beliau langsung menjelaskannya.
d)
Dikecualikan
adalah kijang misk (wangi) karena darahnya wangi dan tikusnya. Termasuk
juga hewan yang diburu untuk dibunuh.
Syaikh Abdul Qadir Syaibah al-Hamd dalam kitab Fiqh al-Islam
Syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam (I/20):
Abu Waqid adalah al-Harits bin ‘Auf
yang wafat tahun 65 atau 68 H. Di Mekah. Al-Laitsi adalah nisbat kepada Laits,
karena ia berasal dari Bani ‘Amr bin Laits.
~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Lubuk Buaya, Kota Padang
07:38 | Selasa, 7 November 2017
Tidak ada komentar