Header Ads

Mandi Dengan sisa air mandi besarnya lawan jenis - Hadits Keenam dan Ketujuh - Bulughul Maram


6.          وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: - نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - "أَنْ تَغْتَسِلَ اَلْمَرْأَةُ بِفَضْلِ اَلرَّجُلِ, أَوْ اَلرَّجُلُ بِفَضْلِ اَلْمَرْأَةِ, وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ. وَالنَّسَائِيُّ, وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ.
Arti:
Seorang laki-laki yang merupakan shahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air perempuan, namun hendaklah keduanya menyiduk (mengambil) air bersama-sama. Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan sanadnya Shahih.
Penjelasan:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam:
(اَلْمَرْأَةُ) adalah perempuan yang telah baligh. (اَلرَّجُلِ) adalah lelaki yang telah ihtilaam (mimpi basah) dan syabba (sudah besar). (يَغْتَرِفَ)adalah mengambil air dengan kedua tangan. Faidah hadits:
a)      Larangan bagi laki-laki untuk mandi dari sisa air bersucinya perempuan.
b)      Larangan perempuan untuk mandi dari sisa air bersucinya laki-laki.
c)      Yang disyariatkan adalah mandi bersama dan menciduk air dengan kedua tangan bersama-sama.
d)     Keumuman kata laki-laki dan perempuan, dikhususkan dengan pasangan suami-istri atau mahram yang dibolehkan melihat anggota wudhu. Bukan lawan jenis yang merupakan orang asing.
e)      Hadits ini menjelaskan tentang hukum mandi, adapun hadits dalam Shahih al-Bukhari menjelaskan larangan wudhu seorang lelaki/perempuan dari sisa bersucinya lawan jenisnya.

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan dalam kitab Tas-hiil al-Ilmaan bi fiqh al-Ahaadits min Bulugh al-Maram (I/36):
Maksud dari hadits ini adalah seorang perempuan yang haidh atau nifas dilarang mandi dengan sisa air mandinya suaminya yang masih berada di wadahnya.

7.         وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; - أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا - أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
وَلِأَصْحَابِ "اَلسُّنَنِ": - اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فِي جَفْنَةٍ, فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا, فَقَالَتْ لَهُ: إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا, فَقَالَ: "إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُجْنِبُ" - وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ.
Arti:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah radhiyallahu ‘anha. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh penulis kitab- kitab Sunan: Sebagian istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi datang hendak mandi dengan air itu, maka berkatalah istrinya: Sesungguhnya aku sedang junub. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub." Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.

Penjelasan:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam:
Faidah hadits:
a)      Yang dimaksud dengan “sebagian istri Nabi” adalah Maimunah binti al-Haarits al-Hilaaliyyah.
b)      Jafnah adalah qash’ah yang besar. Qash’ah adalah inaa’ (bejana) yang besar yang biasanya digunakan untuk menaruh makanan dan terbuat dari khasyab (kayu).
c)      Junub disebut dengan junub karena orang yang sedang junub diperintahkan untuk menjauhi tempat-tempat shalat selama belum suci.
d)     Bolehnya seorang perempuan untuk mandi dari sisa air bersucinya lelaki, begitupun kebalikannya.
e)      Seorang yang mandi junub atau wudhu dari bejana tidak mempengaruhi kesucian air.
f)       Diriwayatkan oleh al-Wazir dan Al-Nawawi bahwasannya ulama sepakat bolehnya seorang lelaki boleh mandi dengan sisa air yang digunakan bersuci oleh perempuan, walaupun bercampur dengannya, kecuali hanya sebagian kecil ulama. Adapun perempuan wudhu dari sisa air yang digunakan bersuci oleh laki-laki maka boleh, tanpa adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan dalam kitab Tas-hiil al-Ilmaan bi fiqh al-Ahaadits min Bulugh al-Maram (I/39):
Sesungguhnya air tidak terpengaruh oleh mandi jinabah. Jika seseorang mandi junub dengan air yang airnya diciduk keluar wadah maka air yang ada di wadah tidak terpengaruh oleh jinabah. Yang dilarang – sebagaimana yang telah lalu – adalah jika mandinya dengan cara membenamkan diri, inilah yang dilarang oleh Nabi yaitu seorang yang junub mandi dengan cara membenamkan diri di air yang tidak mengalir. Adapun jika airnya diciduk, maka tidak terpengaruh oleh jinabah.
Faidah hadits ini dan hadits sebelumnya:
Pertama: perempuan mandi menggunakan sisa air mandinya lelaki, maka mayoritas ulama membolehkannya.
Kedua: suami-istri mandi bersama dengan satu wadah, ulama sepakat akan kebolehannya.
Ketiga: lelaki mandi dari sisa air mandinya perempuan maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
a)      Dilarang. Tidak boleh seorang lelaki mandi dengan sisa air mandi perempuan yang junub atau haidh atau nifas. Pendapat ini berdasarkan pada zhahir hadits yang pertama yang mengandung larangan.
b)      Seorang lelaki tidak boleh mandi dengan air sisa mandinya perempuan jika mandinya tidak diketahui oleh orang lain. Misal: seorang perempuan mengambil air lalu masuk kamar mandi untuk mandi dan ia sendirian mandinya, maka lelaki tidak boleh menggunakan air sisa mandinya. Dan yang berpendapat dengan pendapat ini memahami hadits larangan (hadits yang pertama) karena perempuan mandinya tidak bersama suaminya (atau mandi sendirian), adapun hadits yang membolehkan (hadits yang kedua) Nabi melihat dan mandi bersama Maimunah.
c)      Pendapat mayoritas ahli ilmu: seorang lelaki boleh mandi dengan air sisa mandinya perempuan yang berhadats besar. Berdasarkan hadits riwayat imam Muslim dan Ashhab al-Sunan. Adapun memahami hadits larangan (yang pertama), pernyataan yang paling bagus adalah pernyataan Ibnu Hajar : bahwa hadits larangan ini menunjukkan hukumnya makruh tanzih. Dan hadits yang kedua menunjukkan hukumnya boleh. Lalu pemahaman terhadap kedua hadits ini digabung, sehingga hadits awal dipahami dengan hukum makruh tanzih dan hadits kedua menunjukkan makruh.
Jika ada yang bertanya: apakah Nabi melakukan sesuatu yang makruh? Kita jawab: tidak. Karena Nabi melakukannya untuk menjelaskan syariat dan menjelaskan kebolehannya bagi ummat. Sehingga bagi Nabi hal ini tidak menjadi makruh, tapi bagi orang lain hukumnya makruh.
Ada yang mengatakan bahwa hadits tentang larangan telah mansukh (dihapus hukumnya) maka kita katakan untuk menetapkan sesuatu mansukh maka butuh kepada pengetahuan tarikh dan naskh tidak berlaku kecuali jika tidak dapat dikompromikan. Sehingga naskh butuh dua hal: 1. Derajat haditsnya sama. 2. Diketahui tarikh dan tidak dimungkinkan jam’ (kompromi pemahamannya).

~ Abu Ahmad ~
Lubuk Buaya, Kota Padang
15:52 | Kamis, 17 Agustus 2017


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.