Header Ads

Hadits Tentang Kucing – Hadits Kesembilan – Kitab Bulughul Maram


وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ - رضي الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ -فِي اَلْهِرَّةِ-: - إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ, إِنَّمَا هِيَ مِنْ اَلطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ - أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ. وَابْنُ خُزَيْمَةَ.
Arti:
“Dari Abu Qatadah – radhiyallaahu ‘anhu – . bahwasannya Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda – tentang kucing - : bahwa kucing tidak najis, ia termasuk hewan yang berkeliaran di sekitar kalian. [diriwayatkan oleh Imam yang empat dan dishahihkan oleh al-Turmudzi dan Ibnu Khuzaimah]
Syarah:
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam kitabnya Tas-hiil al-Ilmaam bi fiqh al-Ahadits min Bulugh al-Maram (I/43-49) menjelaskan:
Abu Qatadah – radhiyallaahu ‘anhu – merupakan kunyah. Namanya adalah al-Haarits bin Rabii’ al-Anshari, ia adalah penunggang kuda Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan salah seorang yang paling pemberani dari mujahidin di jalan Allah.
(اَلْهِرَّة) kucing betina. Dalam bahasa arab disebut juga dengan (القط) dan juga (السنور)
(نَجَس) ‘najis’ adalah kata sifat untuk bentuk tunggal maupun jamak (plural), begitu juga untuk mudzakkar maupun mu`annats. Ia merupakan lawan dari suci.
Kucing merupakan hewan yang sering masuk rumah, berbaur dengan manusia dan berkeliaran di sekitarnya, Allah menghilangkan kesulitan bagi manusia oleh karena itu hukumnya tidak najis. Seandainya hukumnya najis, sedangkan ia berbaur dengan manusia, maka akan sangat menyulitkan bagi mereka, dan Allah tidak menjadikan kesulitan bagi kaum muslimin dalam agama, namun Allah ringankan dan mudahkan.
Hadits ini memiliki sabab wurud: Abu Qatadah – radhiyallaahu ‘anhu – dipersiapkan air wudhu untuknya. Lalu kucing datang untuk meminumnya, lalu ia memiringkan bejananya (wadah air) sampai kucing itu bisa meminumnya. Lalu wanita (yang menyediakan air) kaget melihat hal itu. Kemudian Abu Qatadah berkata: apakah kamu kaget melihat hal ini? Sesungguhnya Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: bahwa kucing tidak najis, ia termasuk hewan yang berkeliaran di sekitar kalian. Abu Qatadah menghilangkan keraguan yang diakibatkan dari minumnya kucing di bejana, bahkan ia memiringkan bejananya agar diminum oleh kucing dari air wudhunya, lalu ia wudhu darinya.
Diriwayatkan oleh Imam yang empat maksudnya adalah imam-imam penulis kitab sunan yaitu Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa`i dan Ibnu Majah.
Faidah dari hadits ini adalah:
1)      Badan kucing hukumnya suci, sehingga boleh untuk disentuh dan berbaur dengannya.
2)      Air yang bekas diminum oleh kucing hukumnya tetap suci, sehingga boleh untuk berwudhu atau bersuci dengannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Qatadah. Jika kucing minum di wadah atau ia makan makanan maka sisanya tetap suci dan tidak boleh dibuang.
3)      Hadits ini menunjukkan kaidah (المشقة تجلب التيسير) ‘kesulitan menghasilkan kemudahan’. Oleh karena itu, tatkala kita sulit untuk menjauhkan diri dari kucing, maka Allah memberikan keringanan kepada hamba-Nya berupa hukumnya tidak najis dan benda yang menyentuhnya dan sisa minumnya tidak menjadi najis. Kucing berbeda dengan anjing. Mayoritas manusia tidak membutuhkan anjing dan anjing juga tidak berbaur dengan manusia, dan tidak masuk rumah kecuali dengan izin pemilik rumah maka ia tidak termasuk dalam kategori (اَلطَّوَّافِينَ) ‘yang biasa berbaur’.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/138-140):
Derajat hadits ini adalah shahih.
(اَلْهِرَّةِ) merupakan kucing betina salah satu jenis dari famili Sinauriyyah. Faidah hadits:
a)      Kucing tidak najis, baik yang disentuhnya maupun yang dijilatnya.
b)      ‘illah nya adalah karena kucing adalah hewan yang banyak berkeliaran (mendampingi/khadim) di sekitar manusia.
c)      Hadits ini dan semisalnya merupakan dalil dari kaidah “المشقّة تجلب التيسير”.
d)     Di-qiyas-kan dengan kucing adalah hewan-hewan yang serupa dengannya yang haram dimakan, misal: bighal (peranakan dari keledai dengan kuda), keledai, atau hewan yang sulit kita menghindarinya seperti tikus.
e)      Kalimat (إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ) merupakan dalil kesucian seluruh anggota badannya.
f)       Sisa minumnya atau makannya adalah tetap suci.
g)      Disyariatkan menjauhi hal-hal yang najis. Seandainya kita butuh untuk menyentuhnya atau karena darurat, maka segera untuk menghilangkannya/mensucikannya setelah tercapai tujuan. Misal: istinja’ dengan tangan kiri, serta menghilangkan najis dan kotoran.

Adapun kencing dan kotoran hewan yang haram untuk dimakan maka menurut madzhab Syafi’i hukumnya adalah najis. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dalam Kitab al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab li Syairazi (II/567):
أما حكم المسألة في الابوال فهي أربعة أنواع بول الآدمى الكبير وبول الصبي الذي لم يطعم وبول الحيوانات المأكولة وبول غير المأكول وكلها نجسة عندنا وعند جمهور العلماء
Adapun hukum permasalahan air kencing, maka ia terdiri dari empat bagian: air kencing orang dewasa, air kencing bayi yang belum diberi makan (hanya diberi susu – pentj), air kencing hewan yang halal dimakan dan air kencing hewan yang haram dimakan, seluruhnya (hukum air kencingnya) adalah najis menurut kami (madzhab al-Syafi’i) dan menurut mayoritas ulama.
وأما بول باقى الحيوانات التى لا يؤكل لحمها فنجس عندنا وعند مالك وأبي حنيفة واحمد والعلماء كافة
Adapun air kencing hewan yang dagingnya haram untuk dimakan maka hukumnya najis menurut kami, menurut (madzhab) Malik, Abu Hanifah, Ahmad (bin Hanbal) dan ulama secara keseluruhan.



~ Abu Ahmad ~
Lubuk Buaya, Kota Padang
04:13 | Selasa, 31 Oktober 2017


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.