54. Bagian Khuff yang diusap – Bulughul Maram
وَعَنْ عَلِيٍّ - رضي الله عنه - قَالَ: - لَوْ كَانَ اَلدِّينُ
بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ اَلْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ,
وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ
خُفَّيْهِ - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَن.
Dan dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata: Seandainya agama berdasarkan pendapat (akal) maka bagian bawah
khuff lebih utama untuk diusap dari pada bagian atasnya. Dan sungguh aku telah
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian yang
tampak (atas) dari kedua khuffnya. [Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan
sanad yang hasan]
Penjelasan :
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
al-Bassam dalam kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/262-264)
menjelaskan:
Hadits ini shahih sebagaimana dijelaskan
oleh Ibnu Hajar dalam kitab al-Talkhish.
(اَلدِّينُ) ‘agama’ maksudnya di
hadits ini adalah syariat. Dan ia memiliki makna yang lain.
(الرَّأْيِ) berlaku umum mencakup i’tiqad
(kepercayaan/anggapan), al-tadbiir (pemikiran), dan al-‘aql
(akal). Hanya akal semata, tanpa riwayat dan penukilan maka bukanlah syariat.
Faidah hadits:
- Bagian yang harus diusap dari khuff, hanya bagian atasnya saja, maka tidak boleh mengusap bagian yang lainnya, dan tidak disyariatkan mengusap bagian yang lainnya, seperti samping atau bawah.
- Sesungguhnya agama dibangun di atas al-naql (penukilan) dari Allah atau rasul-Nya, bukan al-ra’yu (pendapat); maka yang wajib adalah al-ittiba’ (mengikuti), bukan al-ibtida’ (berinofasi).
- Yang pertama kali terlintas di pikiran adalah bagian bawah khuff lebih utama untuk diusap, bukan bagian atasnya. Karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah, seandainya ada najis, maka bagian itulah yang terkena dan lebih utama untuk dihilangkan, namun yang wajib adalah mendahulukan penukilan yang shahih dari pada pendapat; dan sesungguhnya yang mensyariatkan (Allah) lebih mengetahui tentang kemaslahatan-kemaslahatan. Hal ini bukan berarti syariat tidak memperhatikan akal dan mempertimbangkannya. Bahkan di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan tetang kemuliaan akal, mengarahkannya dan mengajaknya berdialog.
وَمَن
نُّعَمِّرۡهُ نُنَكِّسۡهُ فِي ٱلۡخَلۡقِۚ أَفَلَا يَعۡقِلُونَ ٦٨
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan
umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka
tidak memikirkan [Yaasiin: 68]
إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ٢٤
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya [al-Ruum:
24]
۞إِنَّ شَرَّ ٱلدَّوَآبِّ عِندَ ٱللَّهِ ٱلصُّمُّ
ٱلۡبُكۡمُ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡقِلُونَ ٢٢
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang
tidak mengerti apa-apapun (tidak menggunakan akalnya). [al-Anfal: 22]
Akal adalah nikmat yang agung yang
Allah berikan kepada manusia. Maknanya adalah: bahwa akal tidak terpisah dengan
tasyri’ (pensyariatan), ia menyelamatkan dan menerima syariat Allah
dengan jiwa yang ridha, dan ia mengusahakan untuk dapat memahami
rahasia-rahasia Allah, jika ia dapat mengetahuinya, maka itu adalah nikmat dari
Allah, namun jika tidak, maka ia menempuh jalannya orang-orang yang mengatakan:
ءَامَنَّا
بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ
"Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". [Ali ‘Imran: 7]
- Akal yang selamat akan cocok (relevan) dengan al-naql (penukilan) yang shahih. Syariat yang Allah turunkan tidaklah bertujuan kecuali untuk tujuan jiwa, yang karenanya akal diciptakan, Ketika akal selamat dan shahih (benar) tidak didominasi (dikalahkan) oleh hawa nafsu dan syahwat, yang tidak tersentuh oleh kelemahan. Sebagaimana diketahui, bahwa akal bukanlah barometer (ukuran) bagi syariat, bahkan justru syariatlah yang menjadi timbangan untuk mengkritik akal. Jika akal itu menerima hukum-hukum syariat, maka dapat diketahui bahwa ia adalah akal yang selamat yang berlepas diri dari berbagai penyakit, namun jika akal tidak mau menerima syariat, maka dapat diketahui bahwa itulah akal yang sakit dan berpenyakit.
- Wajib tunduk dan berserah diri kepada perintah-perintah Allah dan rasul-Nya, dan ini merupakan tujuan ibadah, ini juga merupakan kesempurnaan ketundukan dan penyerahan diri.
- Boleh jadi –Allahu A’lam- diantara hikmah dari hukum ini adalah, bahwa al-ghusl (membasuh) itu dapat merusak khuff, maka cukup dengan mengusap, sebagai bentuk kemudahan, dan menjaga harta berupa khuff, dan mengusap bukanlah sebagaimana membasuh/mencuci untuk menghilangkan najis dan membersihkan khuff, meskipun dengan mengusap tidak dapat menghilangkan kotoran yang menempel di bagian bawah khuff, bahkan jika bagian bawahnya terkena air, justru akan membuat kotoran (mudah) menempel, disyariatkan mengusap di atas khuff adalah untuk menghilangkan debu yang menempel padanya, karena bagian yang atas adalah yang terlihat, maka seorang yang shalat hendaknya bersih. Wallahu a’lam.
- Hadits tentang mengusap khuff pada riwayat al-Mughirah bersifat mujmal (umum), maka hadits ini menjelaskan tentang sifat dan tatacaranya.
Khilaf ulama:
Apakah yang diusap adalah seluruh
bagian yang tampak dari khuff atau tidak?
Pendapat yang kuat: mengusap hanya
pada sebagian besar bagian yang tampak (atas) dari khuff, karena kalimat yang
digunakan adalah (عليهما) bukan (بهما).
Apakah mengusap dua khuff itu dengan
cara bersama-sama, sebagaimana mengusap dua telinga, atau mendahulukan yang
kanan?
Pendapat yang kuat: mendahulukan
yang kanan, karena dua kaki tidaklah sama dengan dua telinga yang merupakan
bagian dari kepala (mengusapnya mengikuti kepala).
Dan karena mengusap khuff merupakan
cabang dari membasuh (kaki), dan membasuh disunnahkan mendahulukan yang kanan.
Dan juga karena penjelasan dalam
hadits ‘Aisyah bahwa Nabi biasa mendahulukan yang kanan dalam bersuci, dan
mengusap khuff, termasuk dari bagian bersuci, maka disunnahkan untuk mengusap
dengan jari-jari kedua tangannya. Yang sebelah kanan diusap dengan tangan kanan
dan sebelah kiri diusap dengan tangan kiri.
Ulama sepakat bahwa mengusap khuff
cukup satu kali usapan dan tidak disunnahkan untuk mengulang-ulangnya.
~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Koto Tangah – Kota Padang
07:58 | Sabtu, 13 Oktober 2018
Tidak ada komentar