Header Ads

Bulughul Maram - Kitab Thaharah - Air Laut


كِتَابُ اَلطَّهَارَةِ
Kitab, secara bahasa: maknanya berkisar maadah (materi). Dinamakan kitab karena di dalamnya terkumpul huruf, kata dan kalimat. Namun di sini bermakna yang ditulis. Secara istilah: sesuatu yang ditulis di atas kertas untuk menyampaikan yang lain atau sesuatu yang ditulis untuk menjaga dari lupa. Para ulama menggunakan istilah kitab dengan makna sesuatu yang mengumpulkan bab-bab dan pasal-pasal.

Thaharah, secara bahasa: bersih, menghilangkan/mengangkat dari kotoran-kotoran baik yang berupa fisik (hissiyah) maupun abstrak (ma’nawiyyah). Secara istilah: mengangkat/menghilangkan hadats dengan air atau debu yang suci dan mubah, dan menghilangkan najis. Thaharah – menurut kesepakatan kaum muslimin - : hilangnya sifat yang menempel pada badan. Adapun hadats maka dengan cara diangkat, sedangkan najis dengan cara dihilangkan. Karena hadats sifatnya abstrak dan najis sifatnya fisik.
Pembahasan ini dimulai dengan Kitab al-Thaharah karena dalam hadits-hadits tentang syi’ar-syi’ar Islam dimulai dari shalat, zakat, puasa dan haji. Nabi bersabda “Kunci dari shalat adalah suci”, dan kunci harus didahulukan dari yang dikunci. Atau sama halnya bahwa suci merupakan syarat sah shalat, maka syarat harus didahulukan dari yang dipersyaratkan.
بَابُ اَلْمِيَاهِ
Bab, secara bahasa: tempat masuknya sesuatu. Secara istilah: kata yang berhubungan dengan ilmu yang biasanya di bawahnya adalah pasal-pasal dan permasalahan-permasalahan. Miyaah merupakan bentuk jamak dari maa’ (air) yang merupakan susunan dari struktur kimiawi dari hidrogen dan oksigen (H2O). Sumbernya adalah hujan, mata air, sungai dan laut.
Pada asalnya, bersuci itu adalah dengan air karena ia merupakan benda cair yang paling baik.
1-     عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي اَلْبَحْرِ: - هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ - أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ.
Artinya: “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya (hewan yang di dalamnya) halal." Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya.”

Hadits ini adalah hadits shahih. Faidah hadits:
a)    Al-Bahr: adalah kebalikan dari daratan, yaitu tempat yang sangat luas yang berupa air yang asin. Jamaknya adalah abhar, bihaar dan buhuur. Ia dinamakan bahr karena kedalaman dan luasnya.
b)    Al-Thahuur merupakan shiigah mubaalaghah, yaitu nama untuk air yang suci (secara dzatnya) dan mensucikan (yang lainnya). (ال)  fungsinya bukan untuk membatasi alat bersuci, namun karena kembalinya pada kata (البحر).
c)    Al-hillu merupakan kata sifat dari halal. Maitah adalah yang tidak disembelih secara syar’i. Maitah merupakan faa’il dari kata hillu, yang maknanya semua hewan yang mati di laut dan tidak bisa hidup kecuali di dalamnya, jadi bukan maksudnya seluruh hewan yang mati di laut (misal: anjing mati di laut, dll).
d)   Al-Syafi’i mengatakan: hadits ini merupakan setengah dari ilmu Thaharah. Ibnu Mulaqqin: hadits ini adalah hadits yang agung, salah satu ushul (dasar) dari Thaharah, mencakup banyak hukum dan kaidah-kaidah penting.
e)     Air laut adalah suci dan mensucikan menurut kesepakatan ulama.
f)   Air laut dapat mengangkat hadats besar dan kecil serta menghilangkan najis dari makhluk asing (hewan dan manusia) menjadi suci baik pada badan, pakaian, tanah, dll.
g)   Sesungguhnya air jika berubah warna, rasa, dan baunya dengan sesuatu yang suci, maka ia tetap suci dan mensucikan selama air itu tetap pada hakikatnya, walaupun menjadi sangat manis, panas, dingin, dll.
h)  Tidak wajib membawa air yang cukup untuk digunakan bersuci walaupun mampu untuk membawanya, karena dalam hadits disampaikan bahwa ia hanya membawa sedikit air.
i)     Bangkai binatang laut hukumnya halal. Maksud dari “bangkai  binatang laut” adalah seluruh hewan melata yang mati di laut dan tidak dapat hidup kecuali di laut.
j)   Wajib hukumnya mengangkat hadats dan menghilangkan khabats dengan air yang mensucikan.
k)      Bolehnya mengarungi lautan selain untuk haji, umrah dan jihad.
l)    Keutamaan melebihkan fatwa (dari pertanyaan), jika pemberi fatwa menduga bahwa yang bertanya tidak mengetahui hukumnya atau penanya akan mengalami hal tersebut. Jawaban lebih banyak dari soal untuk menyempurnakan faidah, dan memberikan faidah ilmu pada perkara yang tidak ditanyakan.
m)    Khilaf ulama
                                i.            Abu Hanifah: seluruh jenis ikan halal, dan selainnya adalah haram. Misal: anjing laut, babi laut, ular laut, dll. Binatang laut yang menyerupai hewan darat hukumnya haram menurutnya.
                              ii.            Imam Ahmad: seluruh hewan laut halal, kecuali katak/kodok, ular dan buaya. Katak dan ular adalah hewan khabats (kotor dan buruk), adapun buaya adalah hewan yang memiliki gigi taring untuk menerkam.
                            iii.            Imam Malik dan Al-Syafi’i[1]: seluruh hewan laut adalah halal, dengan dalil firman Allah “Aku halalkan bagi kalian perburuan di laut” dan hadits tentang 2 bangkai yang halal  adalah belalang dan ikan. Inilah pendapat terkuat.

Disarikan dari kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam karya Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam.

~ Abu Ahmad ~
Lubuk Buaya, Kota Padang
06:17 | Selasa, 25 Juli 2017




[1] Secara umum madzhab Asy-Syafi’i menghalalkan hewan laut. Namun ada beberapa pengecualian, misal: katak, ular dan buaya [lihat: al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, Kitab al-Ath’imah karya al-Nawawi]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.