Header Ads

Jangan Nekat Makan atau Minum Ketika Adzan Mulai Dikumandangkan

Sebagaimana kita tahu bahwa waktu puasa dimulai ketika terbit fajar. Terbitnya fajar biasanya ditandai dengan adzannya muadzdzin yang menandakan telah masuknya waktu shubuh. Maka boleh bagi seseorang makan dan minum untuk sahur sampai dikumandangkannya adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shadiq. Hal ini sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim berikut :
كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنَانِ بِلَالٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki dua orang muadzdzin, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum yang buta. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: sesungguhnya Bilal adzan ketika masih malam maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan”
Namun bagaimana seandainya ketika kita sedang makan atau sedang meneguk air kita mendengar adzan, apakah kita buang / muntahkan yang ada di mulut, kita telan, atau kita selesaikan makan atau minumnya?
Berikut ini kami ulas hadits yang berkaitan dengan hal ini disertai penjelasan para ulama..
Hadits tentang ini diriwayatkan oleh imam Abu Dawud
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Jika salah seorang dari kalian mendengar seruan (adzan) sedangkan bejana (wadah) di tangannya maka janganlah ia menaruhnya sampai ia menunaikan kebutuhannya darinya.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam al-Musnad dengan tambahan lafadz :
وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ
“Muadzdzin adzan jika fajar telah terbit”

Kualitas hadits:
Hadits ini dinilai Hasan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam takhrijnya terhadap al-Musnad (Ahmad) dan dinilai shahih oleh Muhammad bin Nuh al-Albani dalam al-Silsilah al-Shahihah no. 1394.

Penjelasan :
Imam al-Munawi dalam kitabnya al-Taisir bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir :
( إذا سمع أحدكم ) ممن يريد الصوم ( النداء ) أي أذان بلال الأوّل للصبح أو المراد إذا سمع الصائم الأذان للمغرب ( والأناء ) مبتدأ ( على يده ) خبره ( فلا يضعه ) نهي أو نفي بمعناه ( حتى ) أي إلى أن ( يقضي حاجته منه ) بأن يشرب منه كفايته ما لم يتحقق طلوع الفجر الصادق
“[jika salah seorang dari kalian mendengar] (maksudnya) orang yang ingin puasa [panggilan] yaitu adzan Bilal yang pertama untuk shubuh, atau maksudnya adalah seorang yang berpuasa mendengar adzan maghrib [dan bejana / wadah (air / makanan)] mubtada’ [di tangannya] sebagai khabarnya [maka janganlah ia menaruhnya] bermakna larangan atau peniadaan [sampai] sehingga [ia selesai menunaikan kebutuhannya darinya] ia minum darinya sampai cukup selama belum terbit fajar shadiq.”
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Mahmud Muhammad Khaththab al-Subki penulis kitab al-Minhal al-‘Adzbu al-Maurud bahwa yang dimaksud dari kata ( النداء ) adalah adzan awal, jika kata ini dipahami sebagai adzan kedua maka dibawa kepada pemahaman bahwa orang yang makan atau minum masih ragu atau yakin bahwa fajar belum terbit karena tertutupi awan. [al-Minhal al-‘Adzbu al-Maurud, jilid 10, hal. 73]
Dalam kitab ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, jilid 6, hal. 477 :
‘Ali al-Qari (حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ ) “sampai ia menyelesaikan kebutuhannya” hal ini jika ia mengetahui atau menduga bahwa fajar belum terbit. Ibnu al-Malik : hal ini (dilakukan) jika ia tidak mengetahui terbitnya fajar, adapun jika ia mengetahui bahwa fajar telah terbit atau ia ragu maka tidak boleh (makan / minum).

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad dalam kitab Syarh Sunan Abi Dawud :
أورد أبو داود هذه الترجمة بعنوان: باب في الرجل يسمع النداء والإناء على يده، يعني: يسمع أذان الصبح والإناء على يده، أي: ماذا يصنع؟ هل يشرب ويكمل الشرب أو ينزع ويترك؟ والجواب: أنه إذا كان المؤذن الذي يؤذن يعتمد عليه في معرفة الوقت فإن الإنسان إذا كان قد بدأ يشرب فإنه يكمل الشرب، ولكنه لا يبدأ بعد الأذان، وكونه عندما يسمع الأذان يبادر ويذهب ليشرب لا يجوز له ذلك؛ لأن الأذان حصل بعد دخول الوقت، وإذا دخل وقت الفجر فإنه يمنع الأكل ويبيح الصلاة، أي: صلاة الفجر؛ لأنه جاء وقتها، والأكل ذهب وقته في حق من يريد أن يصوم. فمن أذن المؤذن وهو يشرب فإنه يكمل الشرب، وإذا كان لم يبدأ فإنه لا يجوز له، وهذه المسألة من ضمن المسائل التي يقال فيها: يجوز في الاستدامة ما لا يجوز في الابتداء، يعني: أن الإنسان لا يجوز له أن يبدأ الشرب، ولكنه إذا كان قد بدأ يكمل، وليس معناه أن الذي في فمه يقذفه ولا يشرب، بل يبلع الذي في فمه ويكمل أيضاً؛ لأن الذي جاء عنه التحديد جاء عنه استثناء هذه الحالة، فيجوز في الاستدامة ما لا يجوز في الابتداء.
“Abu Dawud menyebutkan (hadits) ini dengan judul : bab tentang seseorang yang mendengar adzan dan bejana di tangannya. Yakni : ia mendengar adzan shubuh dan bejana di tangannya, apa yang ia lakukan? Apakah ia minum dan menyelesaikannya atau ia tinggalkan? Jawab : jika seorang muadzdzin yang adzan dapat dijadikan patokan untuk mengetahui waktu, maka jika seseorang  telah mulai minum maka ia selesaikan minumnya, namun ia tidak boleh mulai minum setelah adzan (dimulai/dikumandangkan), oleh karenanya jika tatkala ia mendengar adzan kemudian dia segera pergi untuk minum maka tidak boleh. Karena adzan dikumandangkan setelah masuknya waktu, dan jika telah masuk waktu fajar maka dilarang makan dan dibolehkan shalat, yakni shalat fajar/shubuh, karena telah masuk waktunya dan telah berlalu (habis) waktu untuk makan bagi yang ingin puasa. Maka jika muadzdzin adzan dan dia sedang minum, maka (boleh) untuk menyelesaikan minumnya, adapun jika belum mulai minum maka ia tidak boleh minum. Permasalahan ini masuk dalam ungkapan : boleh melanjutkan / meneruskan, tidak boleh memulai. Yaitu: bahwa seseorang tidak boleh mulai minum, namun jika ia telah mulai minum maka ia sempurnakan / selesaikan, dan maknanya bukanlah yang  di mulutnya dimuntahkan dan tidak boleh minum, namun (maksudnya adalah) ia menelan yang ada di dalam mulutnya dan juga menyelesaikannya / menyempurnakannya. Karena adanya batasan dikecualikan pada keadaan seperti ini, maka boleh untuk melanjutkan, tidak boleh memulai.”

KESIMPULAN :
Bagi yang berpendapat bahwa adzan dalam hadits ini adalah adzan awal, maka ini merupakan sikap kehati-hatian, sehingga ia tidak makan / minum ketika adzan kedua dikumandangkan.
Namun bagi yang berkeyakinan bahwa hadits ini adalah adzan kedua dan ini merupakan rukhshah bagi orang yang berpuasa, maka janganlah ia mulai makan / minum ketika adzan kedua mulai dikumandangkan, karena ia hanya boleh melanjutkan makan / minumnya yang sudah ia mulai.



Oleh : Abu Ahmad Ayatullah

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.