051. Takaran Air Wudhu dan Mandi Nabi – Kitab Bulughul Maram
وَعَنْهُ قَالَ: - كَانَ
رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ, وَيَغْتَسِلُ
بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
“Dan dari Anas bin Malik, ia berkata: biasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan (air) satu mud,
dan mandi dengan (air) satu sha’ sampai lima mud.” [Muttafaq
‘alaih]
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih
al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/250):
Faidah hadits:
1.
Petunjuk
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sederhana atau irit dalam
banyak perkara, sampai dalam hal yang biasa digunakan pun beliau memberi
petunjuk kepada manusia dan mengarahkan mereka untuk tidak boros atau berlebih-lebihan
dalam banyak hal.
2.
Beliau
berwudhu` dengan satu mud, ini merupakan takaran yang sudah dikenal.
Adapun satu sha’ adalah 4 mud, sehingga satu mud adalah
seperempat sha’. Takarannya (1 mud) jika diukur dengan ukuran
sekarang adalah 625 gram atau 750 mililiter.
3.
Beliau
mandi (wajib/besar) dengan satu sha’ sampai 5 mud. Yaitu antara
satu sha’ sampai satu sha’ lebih seperempat, dengan kelebatan
ramput beliau. Satu sha’ nabawi adalah 3 liter.
4.
Keutamaan
sederhana atau irit dalam penggunaan air untuk berwudhu’ atau selainnya, adapun
boros dalam penggunaannya bukanlah merupakan petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam kitabnya Tas-hiil
al-Ilmaam bi fiqh al-Ahadits min Bulugh al-Maram (I/147):
(كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ) ini menunjukkan sesuatu
yang berlangsung terus-menerus, dan bahwasannya beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam selalu demikian dalam setiap keadaannya. (يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ) ‘berwudhu dengan satu mud’
takaran satu mud telah kita jelaskan sebelumnya yaitu seukuran isi dua
tangan yang dikumpulkan dan dihamparkan dan ukuran tangannya sedang.
(وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ) ‘dan mandi dengan satu sha`’
satu sha’ nabawi adalah 4 mud. Hai’ah Kibar al-‘Ulama
(Saudi) telah menerbitkan (fatwa) bahwa satu sha’ nabawi adalah
mendekati 3 kilo gram. Mayoritas ulama menyepakatinya. Inilah sha’ nabawi
yang digunakan untuk menakar zakat fithr dan air wudhu’.
Air yang digunakan untuk Nabi
sekitar empat sampai lima mud. Ini merupakan takaran air yang digunakan
oleh beliau untuk bersuci dari hadats besar.
Hadits ini menunjukkan irit dalam
menggunakan air dalam bersuci, sehingga tidak banyak air yang terbuang dalam
berwudhu atau mandi, dan sedikitnya penggunaan air ini sudah mencukupi untuk
membasuh semuanya (baik anggota wudhu maupun mandi). Adapun banyaknya
penggunaan air merupakan pemborosan dan tidak boleh, serta banyaknya penggunaan
air dalam bersuci dapat menimbulkan was-was. Karena setan membisikkan kepada
anak adam: perbanyaklah dalam penggunaannya karena wudhumu belum sempurna, atau
mandimu belum sempurna, sehingga timbul was-was. Dan ia akan terus menuangkan
air sehingga terlambat shalat berjama’ah atau terlewatkan waktunya. Maka
hendaknya seseorang irit dalam menggunakan air dan harus sempurna (terbasuh
seluruhnya).
Alangkah baiknya penulis (Ibnu
Hajar) dalam meletakkan hadits ini dan hadits sebelumnya. Hadits sebelumnya
tentang seorang lelaki yang dilihat oleh Nabi bahwa wudhunya tidak sempurna
karena ada bagian sebesar kuku pada kakinya yang tidak terbasuh dan Nabi
menyuruhnya untuk memperbaiki wudhu. Adapun pada hadits ini terdapat penjelasan
ukuran air wudhu’nya Nabi. Sehingga jangan sampai seseorang menyangkan bahwa
memperbaiki wudhu ia dengan banyaknya menggunakan air.
Berlebih-lebihan adalah haram,
dengan dasar firman Allah:
۞يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ
٣١
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
[surah al-A’raf : 31]
وَٱلَّذِينَ
إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ
قَوَامٗا ٦٧
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian” [surah al-Furqan : 67]
Dan larangan untuk berlebih-lebihan juga berlaku dalam hal ibadah,
sebagaimana firman Allah:
قُلۡ
يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا
تَتَّبِعُوٓاْ أَهۡوَآءَ قَوۡمٖ قَدۡ ضَلُّواْ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرٗا
وَضَلُّواْ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ ٧٧
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu
berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu.
Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum
kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan
mereka tersesat dari jalan yang lurus".” [surah al-Ma’idah : 77]
فَٱسۡتَقِمۡ
كَمَآ أُمِرۡتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطۡغَوۡاْۚ إِنَّهُۥ بِمَا تَعۡمَلُونَ
بَصِيرٞ ١١٢
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
[surah Hud : 112]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Fath dzi
al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram (I/212-213) menjelaskan:
(كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ) para ulama dalam kajian
Ushul Fiqh menyebutkan bahwa lafal (كَانَ) menunjukkan suatu
kegiatan yang sering dilakukan, jika khabar-nya berbentuk fi’il
mudhari’, seperti (كَانَ
يَقْرَأُ), namun lafal tersebut
tidak menunjukkan sesuatu yang selalu dilakukan. Jika ada ulama yang mengatakan
bahwa lafal (كَانَ) menunjukkan lil dawaam (kegiatan yang dilakukan
terus-menerus) maka maksudnya adalah ghaaliban (kebanyakannya / sering).
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
وَأَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ
الْجُمُعَةِ سُورَةَ الْجُمُعَةِ وَالْمُنَافِقِينَ
“dan bahwasannya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasanya membaca dalam shalat Jumu’ah surah al-Jumu’ah dan
al-Munafiqun”
Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ
وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ
الْغَاشِيَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya dalam dua
shalat ‘Id dan shalat Jumu’ah membaca surah al-A’la dan al-Ghasyiyah”
Syaikh ‘Utsaimin dalam manzhumah qawa’id wal ushul-nya
mengatakan:
وَكَانَ
تَأْتِي لِلدَّوَامِ غَالِبًا وَلَيْسَ
ذَا بِلاَزِمٍ مُصَاحِبًا
Satu mud adalah seperempat sha’
nabawi, adapun takaran kita sekarang yaitu satu mud adalah sepertiga
sha’.
Faidah hadits :
1.
Al-iqtishad (irit/sederhana) dalam penggunaan air.
2.
Seseorang
juga harus sederhana dalam ibadah. Janganlah seseorang menambahinya baik
jumlahnya maupun tata caranya. Adapun tentang jumlah maka beliau telah
menjelaskannya dalam permasalahan wudhu’ tiga kali basuhan lalu beliau bersabda
: “barangsiapa yang menambahinya maka ia telah berbuat buruk, melampaui
batas dan zhalim”.
3.
Seyogyanya
bagi seseorang untuk meneladani Rasulullah dalam permasalahan ini. Oleh karena
itu para ulama mengatakan ‘disunnahkan untuk wudhu dengan satu mud dan
mandi dengan satu sha’’






Tidak ada komentar