Header Ads

035. Mencuci Tangan Setelah Bangun Tidur – Kitab Bulughul Maram

وَعَنْهُ: - إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي اَلْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِم ٍ
“Jika salah seorang dari kalian bangun tidur, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana (wadah) sampai ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak mengetahui dimana tangannya bermalam.” [Muttafaq ‘alaih dan ini lafal dalam Shahih Muslim]
Penjelasan :
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/214-216):
(لَا يَغْمِسْ) yaitu janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam air. (غمس) adalah memasukkan (sampai tidak terlihat (dari luar) tangannya ke dalam air yang ada di bejana atau wadah. (يَدَهُ) ‘tangannya’ maksudnya adalah ujung jari sampai pergelangan (telapak tangan).
Faidah hadits :
1.      Wajib mencuci kedua tangan setelah bangun dari tidur malam sebanyak tiga kali, tidak cukup hanya satu atau dua kali. (يَد) jika disebutkan secara mutlak maka maksudnya hanya (الكف) ‘ujung jari sampai pergelangan setelah telapak tangan’ dan tidak termasuk hasta (atau tidak sampai siku). Ini merupakan pendapat madzhab imam Ahmad (Hambali). Adapun mayoritas ulama berpendapat hukumnya adalah sunnah/mustahab.
2.      Dibatasi hanya tidur malam, sebagaimana dalam zhahir hadits. Nanti akan disebutkan pendapat mayoritas ulama bahwa tidurnya secara umum, baik malam maupun siang.
3.      Larangan untuk memasukkan kedua tangan ke dalam bejana/wadah sebelum dicuci tiga kali. Di hadits disebutkan bejana/wadah, menunjukkan bahwa larangan hanya khusus baginya tidak dilarang untuk memasukkannya ke dalam kulah atau kolam.
4.      Ada yang berpendapat bahwa jika air yang (di bejana) termasuki oleh tangan yang belum dicuci setelah bangun tidur malam, maka terampas kesucian air, sehingga airnya seperti air yang suci namun tidak mensucikan. Namun pendapat ini marjuh (lemah). Yang benar adalah airnya tetap suci kecuali berubah salah satu sifatnya karena najis.
5.      Al-Khaththabi mengatakan bahwa melakukan sesuatu karena ihthiyath (kehati-hatian) dalam hal ibadah adalah lebih utama.
6.      Wajib bagi seorang yang mendengarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya meskipun ia belum memahami maknanya.
Khilaf ulama:
Imam al-Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat bahwa disyariatkan membasuh tangan pada setiap setelah bangun tidur, baik tidur malam maupun siang hari. Hal ini karena ada kalimat (مِنْ نَوْمِهِ) ‘dari tidurnya’ bentuk kalimatnya adalah mufrad mudhaf, maka bermakna tidur secara umum. Adapun kalimat (أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ) ‘dimana tangannya bermalam’ bentuk kalimatnya adalah qaiyd aghlabiy (batasan secara umum – biasanya orang tidur adalah malam hari). Dan ulama ahli ushul tidak memahami kalimat (tidak ditarik kesimpulan hukum) dalam bentuk qaiyd aghlabiy. Sehingga kalimat (أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ) ‘dimana tangannya bermalam’ tidak bertujuan untuk mengkhususkan. Oleh karena itu, tidur malam bukanlah syarat untuk membasuh tangan tiga kali.
Adapun pendapat yang masyhur dari imam Ahmad bahwa membasuh tangan hanya diwajibkan setelah bangun dari tidur malam.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Fath dzi al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram (I/182-183) menjelaskan:
Faidah hadits :
1.      Sesesorang yang bangun tidur tidak boleh memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali. Dan hukum asal larangan adalah haram. Larangan ini berlaku baik yang dimasukkan adalah sebagian dari hanya (الكف) ‘ujung jari sampai pergelangan setelah telapak tangan’ atau seluruhnya, karena ada kaidah ushul (أن المنهي عنه يتناول النهي فيه جزأه وكله).
2.      Wajib mensucikan sesuatu yang diragukan terkena najis, oleh karena itu dalam hadits (فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ). Namun pendapat ini lemah, karena sesuatu tidak dapat dihukumi najis hanya berdasarkan dugaan/keraguan. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa larangan di sini bukan berarti haram, namun makruh. Yang benar maksud dari kalimat (فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ) karena boleh jadi setan mencampurkan atau memasukkan ke tangannya sesuatu yang kotor atau kotoran (tahi) dan ia tidak mengetahui.
3.      Hadits ini menunjukkan penetapan kenabian Rasulullah karena hal semacam ini tidak dapat dijangkau oleh indera namun hanya berasal dari wahyu.
4.      Bagusnya cara pengajaran Nabi, karena beliau menyebutkan suatu hukum sekaligus menyebutkan sebabnya.
5.      Disyariatkannya menempuh jalan kehati-hatian.
Jika ada orang setelah bangun tidur langsung memasukkan tangannya ke dalam air yang ada di bejana sebelum mencucinya, apakah kesucian airnya berubah atau tidak? Apakah ia berdosa atau tidak?
Jika seseorang berpendapat haramnya seseorang yang bangun tidur langsung memasukkan tangan ke dalam bejana sebelum dicuci, maka ia berdosa. Namun jika ia menganggapnya makruh maka ia tidak berdosa.
Adapun airnya, karena Rasulullah tidak membahas tentang hukum airnya, berarti hukumnya tetap suci.
~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
06:34 | Ahad, 31 Desember 2017

Koto Tangah - Kota Padang

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.