040. Keutamaan Menyempurnakan Wudhu` - Kitab Bulughul Maram
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -
رضي الله عنه - قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ:
"إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ, مِنْ
أَثَرِ اَلْوُضُوءِ, فَمَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ
فَلْيَفْعَلْ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ,
وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya
ummatku akan datang pada hari kiamat dalam keadaan bersinar wajah dan anggota
wudhu`nya dari bekas wudhu`, maka barangsiapa dari kalian yang dapat
memanjangkan sinarnya maka hendaknya ia lakukan.” [Muttafaq ‘alaih, dan
lafadz dari riwayat Muslim]
Penjelasan Hadits :
Syaikh Muhammad bin Nuh al-Albani dalam kitabnya Silsilah
al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah pada nomor 1030 menjelaskan
tentang kualitas hadits ini:
1030 – ضعيف. إن أمتي
يأتون يوم القيامة غرا محجلين من
آثار الوضوء فمن استطاع منكم أن يطيل
غرته فليفعل . ( مدرج الشطر الآخر ) وإنما يصح مرفوعا شطره الأول وأما الشطر الآخر
: فمن استطاع ...
فهو من قول أبي هريرة أدرجه بعض الرواة في المرفوع
Hadits ini adalah dha’if (lemah). [إن أمتي يأتون يوم القيامة غرا
محجلين من آثار الوضوء فمن استطاع منكم أن يطيل غرته فليفعل] (setengah bagian yang
akhir adalah mudraj). Yang shahih sampai ke Nabi hanya bagian separuh yang
pertama. Adapun bagian separuh akhir : (فمن استطاع ...) merupakan perkataan Abu
Hurairah yang di-mudraj-kan (dimasukkan ke sabda Nabi) oleh sebagian
perawi dalam marfu’ (perkataannya disandarkan ke Nabi). [selesai
kutipan]
Bagi yang ingin lebih tahu rincian
tentang takhrij hadits ini, silahkan merujuk ke kitab beliau di atas.
Ini termasuk masalah ilmiah, maka jangan menimbangnya dengan praduga atau
tuduhan yang tidak benar karena sebagaimana disebutkan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Kedua kitab tersebut (Kitab
Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) merupakan kitab kumpulan hadits terbaik,
namun bukan berarti di dalamnya tidak ada hadits yang dha’if.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih
al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/226-228):
(أُمَّتِي) umat adalah jama’ah
(perkumpulan) orang karena (kesamaan) sifat-sifat yang diwarisi, atau
kemaslahatan yang satu, atau karena kesamaan agama. Dan yang dimaksud di sini
adalah umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengikuti
petunjuknya.
(يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ) ‘hari kiamat’ adalah
hari Allah membangkitkan seluruh makhluk untuk dihisab (perhitungan amal) dan
diberikan balasan. Dinamakan demikian karena qiyam (bangkit)nya manusia
dari kubur-kuburnya, atau karena iqaamah (tegaknya) keadilan Allah
diantara mereka, atau karena qiyaam al-asyhaad (tegaknya persaksian).
(غُرًّا) yaitu memiliki ghurrah.
Ghurrah pada asalnya adalah sinar putih di kening/jidat kuda. Namun
dimutlakkan menjadi cahaya wajah ummat Nabi Muhammad. (غُرًّا) merupakan haal
(keadaan) dari kata ganti (يَأْتُونَ).
(مُحَجَّلِينَ) dari kata al-tahjiil,
yaitu warna putih di seluruh kaki kuda. Maksudnya di sini adalah cahaya pada
anggota wudhu’ di hari kiamat.
(أَثَرِ) yaitu ‘alamat
(tanda) pada sesuatu dan bekasnya.
Faidah hadits :
1.
Keutamaan
berwudhu, ia merupakan sebab yang kuat untuk mendapatkan kebahagiaan abadi.
2.
Bekas
wudhu` pada anggota badan merupakan sebab untuk cahayanya, di wajah ada sinar
putih dan pada kedua tangan dan kedua kaki terdapat cahaya yang berkilau.
3.
Keistimewaan
ini adalah khusus, dan merupakan perkara yang membedakan ummat Nabi Muhammad
(dari ummat yang lain), itu adalah ummat yang melaksanakan dan menegakkan
ketaatan kepada Allah Ta’ala.
4.
Yang
raajih (pendapat yang kuat): bahwa wudhu` merupakan kekhususan ummat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak terdapat pada
ummat-ummat terdahulu. Bahwasanya Allah menjadikan ghurrah (sinar putih)
di wajah-wajah mereka dan al-tahjiil (sinar putih) pada kedua tangan dan
kaki mereka, sebagai tanda khusus bagi mereka dari bekas wudhu`. Sebagaimana
hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim (247), bahwa Rasulullah bersabda :
لَكُمْ
سِيمَا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ مِنْ الْأُمَمِ تَرِدُونَ عَلَيَّ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ
أَثَرِ الْوُضُوءِ
“Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari
ummat-ummat (lain) datang kepadaku dalam keadaan wajah dan anggota wudhu`nya
bercahaya dari bekas wudhu`.”
Dan seandainya ummat lain juga berwudhu`, maka tentu mereka juga
memiliki tanda yang sama dengan ummat Nabi Muhammad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : wudhu` merupakan
kekhususan ummat ini sebagaimana yang datang dari hadits-hadits yang shahih.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (bahwa ummat terdahulu
juga berwudhu` - pen) maka tidak dapat dijadikan argumen, dan ahli kitab tidak
memiliki satu kabar pun tentang salah seorang Nabi yang berwudhu sebagaimana
berwudhunya kaum muslimin.
5.
Bahwa
ketaatan kepada Allah merupakan sebab untuk meraih kemenangan, keberhasilan dan
kesuksesan, maka setiap ibadah kepada Allah terdapat balasan yang sepadan
dengannya.
6.
Penetapan
adanya hari kebangkitan dan balasan di dalamnya, ini merupakan hal yang
diketahui oleh seluruh orang. Karena beriman terhadap hari kebangkitan
merupakan salah satu rukun iman yang enam, maka tidak sah keislaman seseorang
tanpa beriman tentang hari kebangkitan dan balasan setelah kematian.
7.
Kebangkitan
terjadi pada ruh dan jasad. Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Nabi bahwa manusia dikumpulkan
pada hari kiamat dalam keadaan tidak memakai alas kaki, telanjang dan belum
disunat.
8.
Sabda
beliau (أُمَّتِي). Ummat terbagi menjadi dua, yaitu ummat dakwah dan ummat ijabah
(menerima dakwah). Yang dimaksud dalam hadits ini adalah adalah ummat ijabah
(yang menerima dakwah beliau/ummat Islam).
Perbedaan pendapat para ulama :
Abu Hanifah, al-Syafi’i, Ahmad dan
yang mengikuti mereka berpendapat bahwa disunnahkan untuk mengusap/membasuh
lebih dari yang fardhu dalam berwudhu`. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama,
mereka berdalil dengan separuh akhir dari hadits yang sedang dibahas ini (فمن استطاع ...)
Imam Malik dan penduduk Madinah
berpendapat bahwatidak ada sunnah untuk melebihkan dari tempat yang fardhu. Ini
merupakan salah satu riwayat dari imam Ahmad, juga merupakan pendapat yang
dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan pendapat ini yang dipilih oleh
ulama kita pada masa ini yaitu Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Syaikh
‘Abdurrahman al-Sa’di, Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz, dan selainnya. Mereka
berdalil/berargumen sebagaimana berikut :
a.
Melebihkan
(mengusap/membasuh) tempat yang fardhu merupakan ibadah, maka ini membutuhkan
dalil.
b.
Setiap
orang yang menceritakan sifat wudhu`nya Nabi menyebutkan bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam membasuh wajah, kedua tangan sampai siku dan kedua kaki
sampai mata kaki.
c.
Ayat
tentang wudhu` membatasi bahwa anggota badan yang fardhu adalah kedua siku dan
kedua mata kaki, dan ayat ini merupakan ayat al-Qur’an yang terakhir turun.
d.
Seandainya
kita menerima riwayat hadits ini, maka akan melebihi wajah ketika mengusap
wajah akan dilebihkan ke rambut kepala, maka hal ini tidak disebut sebagai ghurrah,
sehingga bertentangan.
e.
Hadits
ini tidak menunjukkan al-ithaalah (memanjangkan yang diusap/basuh).
f.
Perkataan (فمن استطاع ...) merupakan tambahan mudraj
dalam hadits dari perkataan Abu Hurairah, bukan dari sabda Nabi. Sebagaimana
dalam riwayat Imam Ahmad (8208)
فَقَالَ
نُعَيْمٌ لَا أَدْرِي قَوْلُهُ مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ
فَلْيَفْعَلْ مِنْ قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ
مِنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ
Nu’aim mengatakan : Aku tidak tahu perkataan ‘barangsiapa yang
dapat untuk memanjangkan bekas wudhu`nya maka hendaklah ia lakukan’
termasuk sabda Rasulullah’ atau apakah dari perkataan Abu Hurairah
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Fath dzi
al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram (I/190-192) menjelaskan:
Sabda beliau (أُمَّتِي) ‘ummatku’ maksudnya
adalah ummat ijabah. Ummat terbagi menjadi dua yaitu ummat dakwah adalah
ummat yang menjadi objek dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ini mencakup seluruh manusia sejak beliau diutus menjadi Rasul hingga hari
kiamat. Yang kedua adalah ummat ijabah yaitu ummat yang menerima dakwah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka seluruh keutamaan yang
disebutkan yang berkaitan dengan ummat Rasulullah merupakan ummat ijabah
(orang mukmin), adapun orang kafir maka mereka tidak memiliki keutamaan.
(مِنْ
أَثَرِ الْوُضُوءِ) kata (مِنْ) berfungsi sebagai ta’liil (sebab hukum). (الْوضُوءِ) huruf waw dapat dibaca dhammah (artinya menjadi
berwudhu`) atau dibaca kasrah (artinya menjadi air wudhu`), keduanya
adalah shahih.
Ibnul Qayyim mengatakan : tidak
mungkin untuk memperpanjang ghurrah. Karena ghurrah adalah warna
putih di wajah, dan pajang serta lebar wajah adalah terbatas. Seandainya ia
membasuh melebihi dari wajah maka tidak lagi disebut sebagai ghurrah.
Jika ada yang bertanya: mungkinkah
Nabi mengatakan sesuatu yang tidak mungkin?
Maka jawabannya adalah bahwa hadits
ini adalah mudraj, dari perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Oleh karena itu di dalam riwayat lain tidak disebutkan (فمن استطاع ...), namun sebagian rawi
memasukkannya ke dalam sabda Nabi (disebut mudraj).
Faidah hadits :
1.
Ummat
Nabi Muhammad kelas di hari kiamat datang dengan sifat ini, yaitu putih
bercahaya wajah, kedua tangan dan kedua kaki mereka.
2.
Cahaya
putih khusus terdapat pada anggota wudhu` yaitu wajah, kedua tangan dan kedua
kaki. Adapun kepala maka maskuut ‘anha (kita berdiam diri tentangnya)
karena ghurrah hanya sebatas wajah.
3.
Balasan
sesuai dengan perbuatan. Karena ketika mereka mensucikan anggota wudhu` ini
sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan meneladani Rasul maka mereka diberikan
balasan yang sesuai.
4.
Keutamaan
ummat ini ketika datang pada hari kiamat dalam keadaan wajahnya putih bersinar
dan disaksikan oleh seluruh ummat.
5.
Keutamaan
berwudhu`.
Tidak ada komentar