022. Hukum Merubah Khamr menjadi Cuka – Kitab Bulughul Maram
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: - سُئِلَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - عَنْ اَلْخَمْرِ تُتَّخَذُ خَلًّا؟ قَالَ: "لَا". -
أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ.
“Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata: Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang khamr yang dijadikan cuka? Beliau
menjawab: tidak boleh.” [Hadits diriwayatkan oleh Muslim]
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam kitabnya Tas-hiil
al-Ilmaam bi fiqh al-Ahadits min Bulugh al-Maram (I/87-88):
(اَلْخَمْرِ) maksudnya adalah (seluruh) yang memabukkan. Karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ
حَرَامٌ
“Seluruh yang memabukkan adalah khamr. Dan seluruh khamr
adalah haram.” [hadits diriwayatkan oleh Muslim]
Dinamakan khamr
karena menutupi akal. Khamr dari kata (اَلتخمير) maknanya (اَلتغطية) ‘menutup’.
Pengharaman khamr dilakukan
secara bertahap. Hal ini karena ketika itu orang-orang jahiliyah sangat suka
meminumnya dan banyak yang menjadi pemabuk. Maka ayat yang pertama turun
tentang pengharamannya adalah surah al-Baqarah ayat 219:
۞يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ
قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن
نَّفۡعِهِمَاۗ ٢١٩
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".”
Kemudian pengharaman ketika shalat, yaitu dalam surah al-Nisa’ ayat
43:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ
مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Dengan turunnya ayat ini maka orang-orang mulai berkurang waktunya
untuk minum khamr. Dan yang terakhir adalah turunnya surah al-Ma’idah
ayat 90:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ
رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”
(Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya tentang khamr) yaitu setelah diharamkannya khamr
(yang dijadikan cuka?) yakni: apakah boleh merubahnya menjadi cuka? Cuka adalah
perasan anggur atau selainnya yang terasa asam. Jika perasannya sudah berbuih
maka ia memabukkan dan menjadi khamr, adapun jika tidak berbuih maka
boleh untuk diminum karena itu merupakan perasah buah (semacam jus).
Disyaratkan pada perasaan (buah) tidak boleh lebih dari tiga hari karena akan
menjadi khamr. Oleh karena itu perasan anggur jika lebih dari tiga hari
diperintahkan untuk dibuang karena berubah menjadi khamr.
Tatkala diharamkannya khamr.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: apakah mungkin/boleh untuk
menjadikannya cuka yang mubah? Lalu beliau menjawab: (tidak boleh).
Yaitu tidak boleh menahannya dengan tujuan untuk merubahnya menjadi cuka,
bahkan harus dibuang.
Faidah hadits:
Pertama; hukum khamr adalah
haram. Hal ini berdasarkan dalil dari al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Maka
barangsiapa yang menganggapnya halal, ia telah keluar dari Islam, ia diminta
taubat, jika tidak mau maka dibunuh. Adapun orang yang meminumnya tanpa
meyakini bahwa hukumnya adalah halal dan ia tetap meyakini bahwa hukumnya
adalah haram, namun ia meminumnya karena menuruti hawa nafsu dan bisikan setan,
maka ia tidak dianggap kafir, namun dianggap fasik. Ia dihukumi fasik karena
telah melakukan salah satu dosa besar, dan harus ditegakkan hukuman had
atasnya yaitu dicambuk 40 atau 80 kali. Sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, shahabat Ali mengatakan:
جَلَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ
سُنَّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukum cambuk
(peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar menghukum cambuk 40 kali dan ‘Umar
menghukum cambuk 80 kali. Semua adalah sunnah dan ini (menghukum 40 kali
cambukan) adalah yang lebih aku sukai”
Kedua; wajib melenyapkan/membuang
dan tidak menahannya sampai berubah menjadi cuka. Begitu pula setiap zat yang
haram harus dilenyapkan/dibuang. Wajib bagi ulil amri untuk melenyapkan khamr
dan menegur orang yang memilikinya. Karena ia adalah zat yang khabits
(haram dan buruk), bahkan ia adalah ummu al-khaba`its (induk segala
keburukan).
يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ قَدْ لَعَنَ الْخَمْرَ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا
وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَسَاقِيَهَا
وَمُسْتَقِيَهَا
“Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah melaknat khamr, yang
memproduksinya, yang minta/menyuruh untuk memproduksi, peminumnya, yang
membawanya, orang yang dibawakan untuknya, penjual, pembeli, yang
menuangkan/menyediakannya, dan orang yang minta untuk dituangkan.” [hadits
riwayat Ahmad]
Ketiga; hadits ini menunjukkan
najisnya khamr, ini merupakan penyebab Ibnu Hajar menaruh hadits ini
pada bab ini. Oleh karena itu, jika khamr terkena pada pakaian, badan
atau tanah. Kenajisan khamr diperkuat dengan [al-Ma`idah: 90] rijs
adalah najis, maka khamr adalah najis. Begitu pula diperkuat dengan
kalimat (fajtanibuuhu) ‘maka jauhilah ia’, perintah untuk menjauhi
bertujuan agar tidak disentuh, dipegang dan berdampingan dengannya, ini
menunjukkan kenajisannya. Barang yang memabukkan tidak boleh digunakan untuk
obat dan pewangi karena najis.
Keempat; hadits ini menunjukkan
bahwa khamr tidak dapat dijadikan suci, karena Nabi melarangnya untuk
dijadikan cuka, maka hal ini menunjukkan bahwa najisnya khamr adalah najis
‘ainiyyah (dzatnya najis). Sebagian ulama berpendapat bahwa khamr
tidak najis, namun ia haram. Jadi setiap yang najis pasti haram, namun tidak
setiap yang haram pasti najis kecuali dengan adanya dalil. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa khamr adalah najis.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih
al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/168):
(اَلْخَمْرِ) adalah benda yang memabukkan yang terbuat dari perasan anggur
atau selainnya; dinamakan khamr karena takhaamuru (menutupi)
akal. (خَلًّا)
memasamkan perasan anggur atau selainnya (menjadikannya cuka).
Faidah hadits:
a)
Khamr
hukumnya haram; maka menjadikannya cuka juga dilarang. Walaupun
dengan cara memindahkannya dari tempat yang teduh ke (terik) matahari, atau
sebaliknya. Adapun menurut madzhab al-Syafi’i: pendapat yang kuat adalah
memindahkannya dari tempat yang teduh ke (terik) matahari, atau sebaliknya
dapat menjadikannya suci [sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Nawawi di Syarh
Shahih Muslim 13/152]
b)
Jika
ia dijadikan cuka, padahal tidak diperbolehkan untuk menjadikannya cuka, bahkan
haram sisanya; yang menguatkan hal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan
oleh al-Imam Abu Dawud dan al-Turmudzi
عَنْ أَبِي
طَلْحَةَ أَنَّهُ قَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي اشْتَرَيْتُ خَمْرًا
لِأَيْتَامٍ فِي حِجْرِي قَالَ أَهْرِقْ الْخَمْرَ وَاكْسِرْ الدِّنَانَ
c)
Jika
khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tanpa disengaja untuk
menjadikannya cuka, maka ia menjadi mubah, kaidahnya adalah “hukum itu
mengikuti ‘illah (sebab hukum) ada atau tidaknya”
d)
Hadits
ini menunjukkan najisnya khamr. Imam al-Ghazali: hal ini merupakan ijma’.
e)
Al-Shan’ani
dalam Subul al-Salam: yang benar adalah hukum asal a’yaan (dzatnya)
adalah suci, pengharaman tidak mengharuskan menjadikannya najis; hasyiisyah
(sejenis ganja/mariuana) haram namun tidak najis. Setiap yang berbahaya,
beracun dan mematikan tidak ada dalil yang menunjukkan akan kenajisannya.
Adapun benda yang najis: pasti
haram, maka setiap yang najis pasti haram, namun tidak sebaliknya. Karena
setiap benda yang najis tidak boleh disentuh dalam keadaan apapun, maka hukum
akan najisnya suatu benda berarti juga mengharamkannya. Hal ini berbeda dengan
hukum pengharaman sesuau, misalnya haram memakai sutra dan emas, namun keduanya
boleh untuk disentuh.
Oleh karena itu, pengharaman khamr
tidak otomatis menjadikannya najis, harus ada dalil yang lain yang menunjukkan
hal itu. Jika tidak ada, maka kembali kepada kaidah asal bahwa hukum
menyentuhnya adalah mubah.
Adapun perkataan al-Ghazali dan Ibnu
Rusyd yang mengatakan bahwa ijma’ ulama akan najisnya, dan dalilnya
telah lalu pada hadits yang ke-19.
f)
Khilaf
ulama: apakah benda yang najis dapat
menjadi suci dengan istihaalah? Karena telah berubah keadaannya dari
satu keadaan ke keadaan yang lain.
Abu Hanifah dan madzhab Zhahiriyah: istihaalah
dapat menjadikan suci benda yang najis.
Adapun mayoritas ulama (madzhab
Malik, al-Syafi’i dan Ahmad): istihaalah tidak dapat menjadikan suci
benda yang najis. Dalilnya: Nabi melarang untuk memakan Jallaalah;
karena memakannya adalah najis.
Ibnu Taymiyah: bahwa istihaalah
dapat mensucikan benda yang sebelumnya najis, selama tidak ada/didapati
bekas-bekas kenajisannya, baik warna, rasa dan baunya. Karena Allah membolehkan
yang baik dan melarang yang buruk, dan hal ini kembali kepada dzat/hakikat
asalnya kembali. Cuka kembali menjadi baik.
Khilaf ulama: Ulama sepakat bahwa
air tahuur (yang suci dan mensucikan) dapat menghilangkan najis. Namun
mereka berbeda pendapat tentang benda lain baik yang cair maupun padat, apakah
dapat menghilangkan najis.
Abu Hanifah: najis dapat disucikan
dengan benda apa pun yang dapat menghilangkan dzat najis, baik benda cair
(selain air) maupun benda padat.
Imam yang tiga: najis hanya dapat
dihilangkan /disucikan oleh air yang suci dan mensucikan, kecuali istijmaar saja.
Pendapat Abu Hanifah memiliki
beberapa dalil:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى فَإِنَّ
التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ (د)
إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي
وَأَمْشِي فِي الْمَكَانِ الْقَذِرِ فَقَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَه (ذي)
Syaikh ‘Abdurrahman al-Sa’di: yang benar adalah jika najis dapat
disucikan dengan benda apa pun yang dapat menghilangkannya (atau menghilangkan
sifat buruk yang ada padanya), karena najis itu hukumnya berhubungan dengan khabats
(kotoran) baik ada ataupun tidak.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Fath dzi
al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram (I/138 dengan ringkasan)
menjelaskan:
Faidah dari hadits ini:
Pertama: haramnya khamr.
Kedua: sadd daraa`i’ (menutup jalan/perantara yang
mengantarkan kepada keburukan). Karena Nabi melarang menjadikan khamr
menjadi cuka agar khamr-nya menetap (di rumahnya), sehingga boleh jadi
ketika ada dorongan nafsu maka ia akan meminumnya. Syaikh ‘Utsaimin menguatkan
pendapat bahwa khamr tidak najis secara dzat-nya. Alasannya adalah
ketika Nabi melarang khamr maka para shahabat membuangnya di pasar (tempat
umum) dan juga tidak menyuruh para shahabat untuk mencuci bekas wadah khamr.
Padahal membuang najis ditempat umum adalah haram dan bila suatu tempat
ternajisi biasanya Nabi menyuruhnya untuk mencucinya seperti pada kasus daging
keledai (peliharaan).
Ketiga: telah datang kisah tentang orang yang memiliki wadah (al-raawiyah)
berisi khamr dan menghadiahkan ke Nabi setelah diharamkan maka Nabi
hanya menyuruhnya untuk membuangnya, tidak ada penjelasan bahwa Nabi
menyuruhnya untuk mencuci tempatnya. Sebagaimana hadtis diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam al-Musnad:
سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقُلْتُ إِنَّا
بِأَرْضٍ لَنَا بِهَا الْكُرُومُ وَإِنَّ أَكْثَرَ غَلَّاتِهَا الْخَمْرُ فَقَالَ
قَدِمَ رَجُلٌ مِنْ دَوْسٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِرَاوِيَةِ خَمْرٍ أَهْدَاهَا لَهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَهَا
بَعْدَكَ فَأَقْبَلَ صَاحِبُ الرَّاوِيَةِ عَلَى إِنْسَانٍ مَعَهُ فَأَمَرَهُ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَاذَا أَمَرْتَهُ قَالَ
بِبَيْعِهَا قَالَ هَلْ عَلِمْتَ أَنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ
بَيْعَهَا وَأَكْلَ ثَمَنِهَا قَالَ فَأَمَرَ بِالْمَزَادَةِ فَأُهْرِيقَتْ
~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Lubuk Buaya, Kota Padang
04:54
| Kamis, 07 Desember 2017
Tidak ada komentar