026. Cara Mensucikan dari Kencing Bayi Laki-laki dan Perempuan – Kitab Bulughul Maram
وَعَنْ أَبِي اَلسَّمْحِ -
رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - -
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ, وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلَامِ - أَخْرَجَهُ
أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم ُ.
“Dari Abi al-Samh radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: bekas kencing bayi perempuan harus dicuci
dan bekas kencing bayi laki-laki harus diperciki air.” [hadits diriwayatkan
oleh Abu Dawud, al-Nasa’i dan dishahihkan oleh al-Hakim]
Penjelasan:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih
al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/184-186):
Menurut al-Hafizh (Ibnu Hajar),
al-Bukhari dan al-Daruquthni sanad hadits ini adalah shahih.
Al-Baihaqi: hadits-hadits yang bersanad tentang perbedaan antara kencing
bayi laki-laki dan perempuan jika dikumpulkan, saling menguatkan antara satu
dan lainnya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud, al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim melalui jalur Abu
Samh.
Al-Kattani mengatakan: hadits
tentang hal itu adalah hadits mutawatir yang datang dari 15 shahabat.
Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari (233) dan Muslim (287)
dan selainnya, hadits dari jalur Ummu Qais putri Muhshin. Ia datang membawa
anak laki-laki yang belum makan makanan menemui Nabi, lalu Nabi dudukkan di hijr
beliau. Lalu anak tersebut kencing di atas pakaian Nabi, kemudian beliau minta
dibawakan air, kemudian beliau memerciki bekas kencingnya tanpa mencucinya.
Abu Samh nama aslinya adalah Iyad.
Ibnu Atsir mengatakan bahwa ia adalah pembantu Nabi.
(مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ) ‘min’ adalah li
al-ta’liil atau li sababiyyah yang menunjukkan sebab. (اَلْجَارِيَةِ) adalah wanita
muda/pemudi, namun maksudnya disini adalah anak perempuan. (اَلْغُلَامِ) adalah sebutan bagi
anak lelaki dari lahir sampai baligh. Namun maksudnya disini adalah anak yang
masih menyusu, sebagaimana dikuatkan dalam riwayat al-Tirmidzi.
Faidah hadits:
- Pertama; hukum asal bayi/anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Sunnah menunjukkan pembedaan antara keduanya dalam masalah air kencing menunjukkan bahwa yang selainnya kembali ke hukum asal.
- Kedua; air kencing bayi/anak perempuan adalah najis sebagaimana najis-najis yang lain, meskipun masih dalam persusuan.
- Ketiga; air kencing bayi/anak perempuan jika terkena pakaian atau selainnya maka dicuci sebagaimana mencuci najis yang lain.
- Keempat; air kencing bayi/anak laki-laki yang belum makan makanan karena syahwat adalah najis. Namun najisnya lebih ringan dari pada air kencing bayi/anak perempuan.
- Kelima; cara mensucikan bekas air kencing bayi/anak laki-laki adalah cukup dengan memercikkan air padanya, tanpa harus mencucinya.
- Keenam; tidak cukup mensucikan bekas air kencing bayi/anak laki-laki dengan menjalankan/menyapukan tangan, namun tujuannya adalah hilangnya dzat air kencingnya.
- Ketujuh; para ulama membahas tentang rahasia pembedaan cara mensucikan bekas air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan.
Sebagian berpendapat: keluarga biasanya lebih menyukai bayi/anak
laki-laki dari pada perempuan. Maka ia lebih sering digendong. Karenanya air
kencingnya banyak mengenai yang dibawa oleh yang menggendongnya. Maka untuk
memudahkan, syariat memberikan keringanan dalam mensucikannya. Oleh karena itu
ia termasuk dalam kaidah besar (المشقّة
تجلب التيسير) ‘kesulitan melahirkan
kemudahan’.
Sebagian lain berpendapat: air kencing bayi/anak laki-laki keluar
dari lubang yang kecing dan batang yang panjang, maka ia keluar dengan kencang.
Oleh karena itu ia menyebar dan banyak benda yang terkena. Maka syariat
memberikan keringanan dalam mensucikannya. Hal ini berbeda dengan yang
perempuan.
Sebagian yang lain berpendapat: bahwa bayi/anak laki-laki memiliki
suhu (panas) yang alami melebihi dari perempuan. Suhu (panas) ini dapat
berpengaruh dalam meringankan (pencernaan) sisa-sisa makanan (susu). Maka zat
sisa pembuangannya (air kencingnya) najisnya lebih ringan dibanding perempuan.
Inilah beberapa hikmah perbedaan
yang dicoba digali oleh para ulama. Jika benar, maka itu merupakan hikmah yang
dapat dicerna oleh akal, karena adanya perbedaan yang jelas. Jika tidak tepat, maka
hikmahnya adalah hukum Allah. Kita mengetahui dengan yakin bahwa syariat Allah
merupakan hikmah. Sesungguhnya syariat tidak akan membedakan dua hal yang mirip
secara zhahir kecuali ada hikmahnya dengan tujuan perbedaan tersebut. Hukum
Allah pasti mengandung mashlahat (kebaikan), namun terkadang tampak
nyata dan terkadang tidak tampak (belum diketahui).
Adapun muntahnya bayi/anak laki-laki
dan perempuan, maka ulama berpeda pendapat ke dalam dua pendapat:
Pertama; bahwa hukumnya sama dengan
hukum air kencing yaitu berbeda antara yang laki-laki dan perempuan, namun
muntah najisnya lebih ringan dibandingkan air kencing. Ini adalah pendapat
madzhab Hambali.
Kedua; kembali ke hukum asal bahwa
muntahnya bayi/anak laki-laki dan perempuan adalah sama, kecuali ada nash
yang menunjukkan bahwa keduanya berbeda.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Fath dzi
al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram (I/155-156) menjelaskan:
Sabab wurud hadits (sebab Rasulullah bersabda): Abu Samh merupakan pembantu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau kedatangan (salah seorang cucunya) yaitu al-Hasan
atau al-Husain. Lalu ia kencing di atas dada beliau. Kemudian Abu Samh hendak
mencuci pakaiannya, maka Nabi bersabda sebagaimana hadits yang telah
disebutkan.
Jadi hadits yang sedang dibahas ini
memiliki sebab (khusus). Namun sebagaimana perkataan para ulama bahwa (العبرة
بعموم اللفظ لا بخصوص السبب) ‘yang diambil pelajaran
adalah lafalnya yang umum, bukan sebabnya yang khusus’, maka hadits ini berlaku
secara umum.
~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Padang Luar – Kab. Tanah Datar
12:48
| Selasa, 12 Desember 2017
Tidak ada komentar