025. Hukum Seputar Mani [Sperma] – Kitab Bulughul Maram
وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: - كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - يَغْسِلُ اَلْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فِي
ذَلِكَ اَلثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ اَلْغُسْلِ فِيهِ - مُتَّفَقٌ
عَلَيْه ِ.
وَلِمُسْلِمٍ:
- لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبٍ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ .
وَفِي لَفْظٍ لَهُ: - لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي
مِنْ ثَوْبِهِ -.
“Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhaa, ia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencuci (pakaian yang terkena)
mani, kemudian beliau keluar menuju shalat dengan menggunakan pakaian tersebut,
dan aku melihat bekas cucian pada pakaiannya.” [muttafaq ‘alaihi]
Dalam riwayat imam Muslim: “aku telah menggosok-gosok/mengeriknya
(mani yang sudah kering) dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kemudian beliau shalat menggunakannya.”
Dan dalam lafadz yang lain: “Aku telah menggosok atau mengerik
(mani) yang sudah mengering dengan kukuku dari pakaiannya.”
Penjelasan:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih
al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/179-183):
(فَرْكًا) ‘kerikan/gosokan’
adalah mashdar untuk ta’kid (penekanan/penguatan) hakikat sesuatu
dan menafikan majaz.
Faidah hadits:
- sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu untuk mani yang sudah mengering maka cukup dikerik, adapun mani yang masih basah cukup dicuci.
- mani manusia adalah suci. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengeriknya tanpa mencucinya, hal ini menunjukkan kesuciannya. Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan mani hingga mengering menjadi dalil bahwa ia suci. Karena sebagaimana dalam petunjuk Nabi untuk segera mencuci dan menghilangkan najis.
- disunnahkan untuk mencuci mani, baik basah maupun telah mengering karena lebih sempurna dalam hal kebersihan.
- tidak harus menjauhkan diri dari cairan yang keluar dari badan yang tidak najis, dan boleh membiarkannya sampai mengering. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan mani di pakaiannya sampai mengering.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit atau sederhana dalam hal kehidupan dunia dan perhiasannya. Dalam hadits ini, pakaian yang dikenakan tidur oleh beliau, digunakan juga untuk shalat dan keluar rumah. Ini merupakan petunjuk bagi umatnya yang berlebih-lebihan dalam permasalahan dunia. Adapun masalah akhirat, maka harus bersemangat untuk meraih pahala dari Allah sebanyak-banyaknya.
- istri membantu suaminya, begitu pula dalam hal yang berkaitan dengan rumah dan selainnya sebagaimana yang telah berlaku dalam adat kebaiasaan.
- seseorang yang keluar rumah dengan bekas suatu hal yang sudah menjadi adat kebiasaan seperti makan, minum dan jima’, tidak menjadikan aib atau hal yan memalukan.
- seorang istri yang shalihah dan dicintai oleh suaminya tidak memandang hina hal semacam ini, yaitu menghilangkan kotoran dan juga cairan yang keluar dari tubuh yang menempel pada pakaian atau badan.
- Ibnu Mulaqqin sebagaimana dalam al-‘Umdah mengatakan: mayoritas ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil sucinya (cairan) yang membasahi kemaluan wanita –ini pendapat yang paling kuat- menurut madzhab al-Syafi’i.
Dalam kitab al-Mughni: tentang (cairan) yang membasahi
kemaluan wanita ada dua riwayat:
Pertama; najis, karena ia bukan cairan yang darinya diciptakan
bayi, maka ia serupa dengan madzi.
Kedua; suci. Karena seandainya kita hukumi ia najis maka kita juga
harus menajiskan mani.
Al-Zarkasyi: sesuatu yang keluar
dari tubuh manusia terbagi menjadi tiga:
- Pertama; yang suci tanpa adanya perdebatan. Seperti: air mata, air liur, ingus, ludah dan keringat.
- Kedua; yang najis tanpa adanya perdebatan. Seperti: kotoran (tahi), air kencing, madi, wadzi dan darah.
- Ketiga; yang diperselisihkan yaitu mani.
Ibnu Taimiyah menguatkan bahwa
hukumnya suci karena ‘A`isyah terkadang mencuci dan terkadang mengerik air mani
di pakaian Nabi, hal ini tidak menunjukkan najis.
Perbedaan pendapat para ulama:
Madzhab Hanafi dan Maliki: mani
adalah najis. Dalilnya:
a.
Hadits
tentang dicucinya air mani dari pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pencucian dilakukan karena hukumnya najis.
b.
Tempat
keluarnya sama dengan tempat keluarnya air kencing, dan diperjelas lagi dengan
ia dicuci dengan air. Hal ini sebagaimana najis yang lain yaitu dicuci
menggunakan air.
c.
Analogi/qiyas
terhadap cairan kotor yang keluar dari tubuh yang lain, seperti air kencing dan
kotoran (tahi). Karena sama-sama uraian dari makanan.
d.
tidak
ada yang membantah bahwa manusia berasal dari mani yang najis. Bagi yang
membantah ia mengatakan bahwa ‘alaqah (segumpal darah) adalah najis.
Padahal mani dan ‘alaqah adalah sama-sama asal (terbentuknya) manusia.
e.
Hadits
tentang mengerik mani yang kering bukan dalil tentang sucinya mani. Karena
boleh jadi mengerik atau menggosok adalah salah satu cara mensucikan pakaian
(dari mani). Dan dzat mani adalah najis. Sebagaimana dalam riwayat bahwa sandal
yang terkena kotoran (adza) disucikan dengan sapuan debu. Hal itu tidak
menunjukkan bahwa adza (kotoran) dzatnya adalah suci.
f.
Seandainya
mani adalah suci, maka mengapa Nabi menyuruh ‘Aisyah untuk mengeriknya.
Seandainya suci maka boleh shalat dengan menggunakan pakaian yang terkena mani
tanpa perlu mengeriknya.
Selesai ringkasan dari Syarah Ma’ani al-Atsar karya
al-Thahawi.
Imam al-Syafi’i dan Ahmad
berpendapat bahwa mani adalah suci, tidak najis. Mereka mengatakan: mani tidak
lebih kotor dari pada ingus dan ludah. Dalil mereka adalah sebagai berikut:
a.
Hadits-hadits
tentang dikeriknya mani yang sudah kering dari pakaian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, cukup dengan mengerik/menggosok tanpa mencuci. Ini
merupakan dalil yang paling kuat bagi mereka. Seandainya najis maka tidak cukup
dengan dikerik.
b.
Manusia
diciptakan dari asal (mani) yang suci, inilah kemuliaan dari Allah. Bagaimana
mungkin manusia diciptakan dari asal yang najis?! Adapun terkadang pakaian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dicuci dari mani yang menempel,
ini tidak menunjukkan kenajisan, namun beliau mencucinya karena faktor
kebersihan. Sebagaimana pakaian yang dicuci dari noda ingus dan ludah.
c.
Nabi
tidak segera menghilangkannya, namun beliau membiarkannya sampai kering. Ini
menunjukkan bahwa dzatnya adalah suci. Sebagaimana diketahui dari petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa najis harus segera
dihilangkan. Seperti kasus orang Arab baduwi yang kencing di sisi masjid,
beliau langsung meminta salah seorang shahabat untuk menuangkan air di atasnya.
Begitu pula, Nabi bersegera untuk mencuci pakaian yang terkena kencing anak
kecil yang kencing di hijr (tempat khusus untuk beribadah beliau), dan
contoh-contoh yang lain.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang dipegang oleh Imam
al-Syafi’i dan Ahmad.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Fath dzi
al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram (I/151-154) menjelaskan:
Mani adalah air yang keluar memancar
(dengan kencang) dari seseorang disertai syahwat. Keluarnya harus disertai
dengan pancaran (keluar dengan kencang) untuk membedakan mani yang sehat dan
mani yang dari sakit. Pembahasan di sini adalah tentang mani yang sehat,
sebagaimana dalam surah al-Thariq ayat 5 dan 6:
فَلۡيَنظُرِ ٱلۡإِنسَٰنُ
مِمَّ خُلِقَ ٥ خُلِقَ مِن مَّآءٖ دَافِقٖ
٦
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan”
Membahas tentang mani, maka terlebih
dahulu kita harus membahas semua yang keluar dari kemaluan laki-laki. Yang
keluar dari kemaluan laki-laki ada empat: mani, madzi, kencing dan madi.
Empat hal yang masing-masing berbeda kecuali madi dengan kencing (madi
keluar setelah kencing).
Perihal mani akan datang
penjelasannya dari hadits bahwa ia adalah suci yang wajib untuk dicuci.
Madzi hukumnya antara najis dan suci. Ia bukan termasuk dari najis yang
berat dan bukan pula termasuk dari benda yang suci. Ia juga keluar disebabkan
syahwat, namun madzi keluarnya bukan ketika seseorang sangat bernafsu
(berada di puncak syahwat), keluarnya ketika seseorang berfikir atau melihat
perempuan atau lain sebagainya. Keluarnya terkadang tidak terasa, namun ia
kenali dari basahnya pakaiannya atau kemaluannya. Ini baina baina
(berada di antara dua hal), Sang Pembuat Syariat menjadikannya antara mani dan
kencing. Oleh karena itu, (setelah ia keluar) maka kemaluan dan dua buah testis
laki-laki wajib dicuci, meskipun kedua buah testisnya tidak terkena. Cara
mencucinya dengan mengalirkan air yang banyak tanpa menggosok-gosoknya.
Madi dan kencing hukumnya sama-sama najis dan harus dicuci dengan
menggosok-gosoknya sampai bersih.
Faidah hadits:
a.
Bekas
mani seharusnya dihilangkan. Baik bagi yang berpendapat suci maupun najis.
b.
Mani
tidak najis, karena Nabi tidak mencucinya. Jika ada yang berkata: bukankah Nabi
mencucinya? Maka dijawab: bahwa perbuatan Nabi semata tidaklah menunjukkan
kewajiban. Kewajiban itu jika Nabi memerintahkan sesuatu. Sebagian lain
mengatakan: bahwa perbuatan Nabi jika dilakukan terus-menerus maka menunjukkan
kewajiban, namun dalam hal ini terkadang beliau mencucinya terkadang
mengeriknya jika telah kering.
c.
Dapat
dianalogikan atau diqiyaskan dengan semua hal yang membuat kita malu
jika dilihat orang maka sepatutnya untuk dihilangkan dari pakaian. Misalnya
ingus yang menempel di baju dan lain-lain.
d.
Termasuk
dari kebaikan istri adalah ia membantu suaminya. Dalam hal ini ‘Aisyah
mengerikkan mani yang telah kering di pakaian Nabi.
e.
Mani
yang sudah kering cukup dikerik.
f.
Menunjukkan
kezuhudan Nabi. Beliau tidak membutuhkan pakaian khusus untuk shalat, pakaian
khusus untuk berkuda, khusus untuk di rumah dan selainnya.
Jika ada yang bertanya: mani yang menempel pada pakaian Nabi ini
disebabkan karena beliau mimpi basah atau kerena beliau jima’
(berhubungan suami istri)?
Dijawab: sebabnya adalah karena jima’, karena di antara
kekhususan Nabi adalah beliau tidak pernah mimpi basah sebagaimana penjelasan
ahli ilmu.
g.
Bolehnya
menta’kid (menegaskan/menguatkan) suatu ungkapan dengan berbagai jenis ta’kid.
Imam Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani dalam kitab Subul
al-Salam Syarh Bulugh al-Maram (I/87):
‘Aisyah merupakan Ummul Mukminin,
putri Abu Bakar dan ibunya bernama Ummu Rumman putri ‘Amir. Nabi melamarnya di
Mekah dan menikahinya pada bulan Syawwal tahun 10 kenabian, ketika itu umurnya
6 tahun. Nabi tinggal serumah dengannya pada bulan Syawwal pada tahun kedua
hijrah, namun ada juga yang mengatakan bahwa ketika ia berumur 9 tahun. Ketika
Nabi wafat, usia ‘Aisyah adalah 18 tahun. Setelah itu ia tidak menikah dengan
seorang pun.
·
Beliau
adalah seorang yang faqiih (mendalam pemahamannya) ‘aalim
(memiliki ilmu yang luas) fashiih dan memiliki banyak keutamaan.
·
Beliau
juga banyak meriwayatkan hadits dari Nabi.
·
Beliau
mengetahui hari-hari orang Arab dan syair-syair mereka.
·
Banyak
para shahabat dan taba’in yang meriwayatkan hadits darinya.
·
Telah
turun 10 ayat dalam surah al-Nur untuk mensucikan dirinya (membantah orang yang
menganggapnya telah berzina/selingkuh)
·
Rasulullah
wafat di rumahnya dan dikuburkan disana.
Beliau wafat di Madinah pada tahun
57 H. Ada juga yang mengatakan 58 H. Pada hari selasa, 17 hari setelah
Ramadhan. Dimakamkan di Baqi’ dan dishalati oleh Abu Hurairah.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari Syarh
Shahih al-Bukhari (I/433):
وليس بين حديث الغسل وحديث
الفرك تعارض لأن الجمع بينهما واضح على القول بطهارة المني بأن يحمل الغسل على
الاستحباب للتنظيف لا على الوجوب وهذه طريقة الشافعي
وأحمد وأصحاب الحديث
“Tidak ada kontradiksi antara hadits tentang mencuci mani dengan
hadits tentang mengerik mani. Karena menghimpun/mengkompromikan keduanya dengan
jelas menunjukkan pada pendapat kesucian mani. Mencuci difahami sebagai
sunnah/kecintaan terhadap kebersihan bukan menunjukkan kewajiban. Inilah metode
yang dipilih oleh al-Syafi’i, Ahmad dan ahli hadits.”
~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Rambatan – Kab. Tanah Datar
08:18
| Senin, 11 Desember 2017
Tidak ada komentar