Header Ads

027. Cara Mensucikan Pakaian yang Terkena Darah Haidh – Kitab Bulughul Maram


وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ -فِي دَمِ اَلْحَيْضِ يُصِيبُ اَلثَّوْبَ-: - "تَحُتُّهُ, ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ, ثُمَّ تَنْضَحُهُ, ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ" - مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ.
“Dari Asma` putri Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang darah haidh yang mengenai pakaian: Engkau kikis/kerik, engkau gosok dengan air lalu siramlah, kamudian shalatlah menggunakannya.” [Muttafaq ‘alaih]
Penjelasan:
Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari (I/431):
(تَحُتُّهُ) ‘Kikis/kerik’ tujuannya adalah untuk menghilangkan dzat darahnya.’digosok’ dengan menggunakan ujung jari pada tempat darah (yang menempel di kain) untuk melarutkannya dan mengeluarkan air yang terserap oleh kain.
Al-Khaththabi mengatakan: bahwa hadits ini menunjukkan bahwa najis hanya bisa dihilangkan dengan air, dan tidak dapat dihilangkan dengan benda cair yang lain.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/187-189):
(تَحُتُّهُ) adalah mengerik dan membersihkannya (semacam menelupaskannya) sampai dzatnya hilang.
Faidah hadits:

  • Pertama; darah haidh adalah najis. Harus dihilangkan dari pakaian, badan, dan benda lain yang harus disucikan, karena Nabi menyuruh untuk mencucinya. Hal ini sebagaimana menghilangkan najis-najis yang lain.
  • Kedua; bahwasannya menghilangkan najis dari pakaian, badan dan tanah/tempat shalat adalah termasuk syarat melaksanakan shalat. Oleh karena itu, tidak sah shalat jika wujudnya (darah haidh) masih ada padahal mampu untuk dihilangkan. Hal ini karena adanya perintah untuk mencucinya sebelum shalat.
  • Ketiga; jika darah haidh telah mengering maka harus dikerik untuk menghilangkan dzatnya, lalu menggosok-gosoknya disertai air, kemudian mencucinya untuk menghilangkan sisa najisnya. Ini merupakan petunjuk urutan untuk membersihkannya. Karena jika dilakukan sebaliknya maka akan menyebar najisnya dan mengenai bagian lain yang awalnya tidak terkena.
  • Keempat; bolehnya menggunakan pakaian yang pernah terkena darah haidh wanita. Namun setelah dikerik dan (digosok-gosok) disertai air, maka menjadi suci. Adapun badan dan keringat wanita haidh dan selainnya adalah suci, karena tidak ada perintah untuk mencuci pakaian yang digunakan ketika haidh kecuali yang terkena noda darah haidhnya. Adapun yang selainnya maka hukumnya suci.
  • Kelima; (ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ) ‘kemudian shalat menggunakannya’ menunjukkan bahwa najis yang kering tidak bisa dihilangkan dan disucikan kecuali dengan tiga (tahap) perbuatan ini. Jika tidak dilakukan maka pakaiannya belum suci dan shalatnya (menggunakan pakaian tersebut) tidak sah. Adapun darah biasa yang keluar dari anggota badan yang lain maka mayoritas ulama berpendapat hukumnya najis, namun diampuni jika ada sisanya sedikit. Berbeda dengan darah haidh dan istihadhah yang tidak ada keringanan padanya dalam mensucikannya.
  • Keenam; hadits ini menunjukkan bahwa yang wajib adalah menghilangkan najisnya, tidak disyaratkan harus dicuci berkali-kali. Jika dicuci sekali sudah hilang najisnya maka sudah cukup.
  • Ketujuh; hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa najis hanya bisa dihilangkan oleh air karena ia muta’ayyin (tertentu). Meskipun ada dzat lain yang bisa membersihkannya namun belum cukup. Karena adanya nash di dalam hadits dan ia merupakan alat bersuci yang utama.
Ibnu Taimiyah: bersuci dapat dilakukan dengan selain menggunakan air, adapun menentukan /mengkhususkan sesuatu membutuhkan dalil yang membatasi bahwa menghilangkan najis hanya dapat dilakukan dengan air. Dan suatu perkara tertentu tidak harus dipahami secara mutlak. Nabi telah mengizinkan untuk menghilangkan najis dengan selain air, diantaranya adalah istijmar (bersuci dari buang air besar menggunakan batu), dan juga Nabi mengatakan kepada wanita yang menggunakan pakaian yang ujungnya sampai menyapu tanah (seandainya terkena najis) maka sapuan tanah setelahnya yang mensucikannya, begitu juga dengan najis yang terkena pada sandal, maka sapuan tanah/debu setelahnya yang mensucikannya.
Ini merupakan pendapat yang benar insyaaAllah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Fath dzi al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram (I/158-159) menjelaskan:
Darah yang keluar dari manusia (selain darah haidh dan istihadhah) tidak najis, karena saya tidak mendapatkan dalil yang menunjukkan kenajisannya. Maka kembali kepada kaidah asal bahwa asal segala sesuatu adalah suci kecuali ada dalil (yang menunjukkan kenajisannya).
Para ulama membagi najis menjadi tiga bagian atau tingkatan, yaitu:
Najis mughaladhah (najis berat) yaitu najisnya anjing, jika menjilat di dalam wadah maka wadahnya harus dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan debu. (menurut Syaikh ‘Utsaimin) Babi tidak bisa dianalogikan /diqiyaskan /disamakan hukumnya dengan anjing. Namun untuk kehati-hatian, jika babi menjilat wadah maka dicuci tujuh kali dan salah satunya dengan debu.
Najis mukhaffafah (najis ringan) yaitu najis air kencing bayi/anak laki-laki yang belum makan makanan. Cara mensucikannya cukup diperciki atau dituangkan air dan tidak perlu digosok-gosok serta dicuci. Begitu pula yang termasuk najis ringan adalah madzi menurut pendapat yang kuat, karena ia antara mani dan air kencing secara tabiatnya.
Najis mutawasithah (najis sedang) yaitu seluruh najis selain dari kedua najis di atas. Cara mensucikannya adalah yang penting hilang dzat najisnya tidak ditentukan jumlah dicucinya. Hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh penulis (Ibnu Hajar) tentang darah haidh bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan batas jumlah tertentu namun beliau hanya menyebutkan sifat tertentu darah yang dihilangkan.



~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Padang Luar – Kab. Tanah Datar
20:16 | Rabu, 13 Desember 2017

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.