Header Ads

029. Hukum Siwak – Kitab Bulughul Maram


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: - لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ - أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, وأَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ، وَذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Seandainya tidak memberatkan bagi ummatku, pasti aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap berwudhu” [hadits diriwayatkan oleh Imam Malik, Ahmad, al-Nasa’i, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan disebutkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq]
Penjelasan:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam (I/194-197):
Ibnu Mulaqqin dalam kitab al-Badr al-Munir mengatakan: bahwa hadits tentang siwak lebih dari seratus hadits.
(لَوْلَا) ‘seandainya tidak’ adalah harf syarth dan ibtida’ merupakan kalimat untuk mengikat penghalangan (meninggalkan) kalimat yang kedua karena adanya yang pertama. Maknanya disini adalah seandainya tidak takut untuk memberatkan atas umatku, pasti aku perintahkan mereka (dengan) perintah yang menunjukkan kewajiban. Kalimat tersebut tersusun dari kata (لَوْ) ‘seandainya’ yang menunjukkan peniadaan sesuatu karena tidak adanya sesuatu yang lain. (لَا) ‘tidak’ merupakan al-naafiyah (peniadaan). Maka hadits ini menunjukkan peniadaan suatu perkara karena adanya kesulitan.
(أَن) adalah mashdariyyah, kedudukannya raf’ pada mubtada`, adapun khabarnya dihilangkan /disembunyikan, sehingga kalimatnya: seandainya tidak takut memberatkan atas umatku.
(لَأَمَرْتُهُمْ) ‘pasti aku perintahkan mereka’ merupakan jawaban dari kata (لَوْلَا).
(بِالسِّوَاكِ) ‘dengan siwak’ maksudnya adalah dengan menggunakan siwak. Karena siwak adalah alat.
Faidah hadits:
1.      Penekanan disunnahkannya siwak pada setiap berwudhu, dan pahalanya mendekati pahala kewajiban.
2.      Siwak ketika berwudhu atau ibadah selainnya hukumnya tidak wajib. Rasulullah melarang untuk mewajibkannya karena khawatir menyulitkan umatnya.
3.      Hal yang mencegah perintah yang menunjukkan kewajiban adalah takut tidak diamalkan, yang mengakibatkan dosa karena meninggalkannya.
4.      Hadits yang mulia ini menunjukkan kaidah yang agung yaitu (المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِير) takut adanya kesulitan menyebabkan tiadanya kewajiban.
5.      Banyak ibadah-ibadah yang memiliki keutamaan yang ditinggalkan oleh Nabi dan umatnya atau beliau tidak memerintahkannya karena khawatir menjadi wajib. Diantaranya adalah shalat malam berjama’ah pada bulan ramadhan, bersiwak dan mengakhirkan shalat isya ke waktunya yang memiliki keutamaan. Semuanya karena kemurahan hati beliau, kasih-sayang beliau dan takut memberatkan umatnya, hal ini menunjukkan keluruhan budi beliau.
6.      Hal ini menunjukkan keluwesan dan toleransi dalam syariat serta kemudahan bagi keadaan manusia yang lemah.
7.      Hadits yan agung ini menunjukkan kaidah syar’i “meninggalkan kerusakan-kerusakan lebih diutamakan daripada menggapai kebaikan”. Kerusakan yang terjadi yaitu dosa bagi yang meninggalkan kewajiban, menghalangi dari mashlahat kewajiban bersiwak pada setiap berwudhu.
8.      Ibnu Daqiq al-‘Ied: rahasia bahwasannya kita diperintahkan untuk menyempurnakan kebersihan pada setiap keadaan mendekatkan diri kepada Allah, untuk menunjukkan kemuliaan ibadah.
Ada yang berpendapat: bahwa hal itu berkaitan dengan para malaikat, bau yang tidak sedap akan menyakitinya.
9.      Kandungan hadits menunjukkan penentuan waktu siwak di dalam berwudhu dan ketika berkumur-kumur.
10.  Pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad: bahwa tidak disebut bersiwak kecuali menggunakan kayu. Pendapat yang rajih (kuat) bahwasannya termasuk kategori bersiwak dengan selain menggunakan kayu, misal menggunakan jari atau kain atau selainnya.
11.  Jika terdapat kontradiksi dua dalil syariat antara wajib dan sunnah, atau antara haram dan makruh, dan tidak ada dalil syariat yang dijadikan landasan pokok, maka tabiat syariat adalah toleransi dan manhajnya adalah keringanan (memilih yang ringan) bagi hamba. Maka yang diambil adalah pendapat yang paling ringan dan jauh dari haram dan wajib, yang paling dekat dan rajih. Telah datang di shahihain (tidaklah Nabi memilih antara dua pendapat, kecuali beliau memilih yang paling ringan)

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam kitabnya Tas-hiil al-Ilmaam bi fiqh al-Ahadits min Bulugh al-Maram (I/108-109):
Bersiwak disyariatkan setiap saat, namun ada lima keadaan ditekankan untuk malakukannya:
1.      Ketika wudhu.
2.      Ketika akan shalat.
3.      Ketika bangun tidur.
4.      Ketika akan membaca al-Qur’an.
5.      Ketika bau mulutnya berubah (menjadi tidak sedap).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab Fath dzi al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram (I/169) menjelaskan:
Faidah hadits:
a.       Kemurahan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana ditegaskan juga oleh Allah dalam surah al-Taubah ayat 128.

لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١٢٨
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
b.      Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki (hak) untuk berijtihad dalam masalah hukum. Oleh karena itu beliau bersabda “Seandainya tidak memberatkan bagi ummatku, pasti aku perintahkan mereka”, penghalangnya bukanlah karena tidak adanya perintah Allah, namun karena kesulitan. Maka Nabi memiliki (hak) ijtihad, seandainya Allah setujui maka menjadi syariat, namun seandainya ijtihadnya keliru maka Allah akan mengangkat/menghapus hukumnya.
c.       Hadits ini menunjukkan ditekankannya menggunakan siwak.
d.      Hadits ini menunjukkan bahwa Hukum asal perintah adalah wajib. Namun sebagian perintah menunjukkan kewajiban menurut kesepakatan ulama, sebagian perintah juga menunjukkan tidak wajib, dan sebagian perintah yang lain menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Oleh karena itu, para ulama berbeda dalam permasalahan ini:
·         Sebagian mengatakan: hukum asal perintah adalah wajib.
·         Sebagian mengatakan: hukum asal perintah adalah sunnah.
·         Sebagian mengatakan: jika tujuan perintah adalah untuk ibadah maka hukumnya wajib, jika tujuannya adalah mengajarkan adab maka hukumnya sunnah secara umum.
e.       Apakah bersiwak dengan selain menggunakan potongan kayu (‘arak) mendapatkan keutamaan bersiwak? Para ulama berbeda pendapat: sebagian mengatakan bahwa keutamaan bersiwak hanya bisa didapatkan jika bersiwaknya menggunakan alat siwak (potongan kayu ‘arak). Sebagian yang lain menatakan keutamaan bersiwak bisa didapatkan meskipun tidak menggunakan potongan kayu ‘arak, semisal menggunakan jari atau potongan kain. Namun yang paling sempurna dan utama adalah menggunakan kayu ‘arak atau yang posisinya sama dengannya. Namun seandainya seseorang bersiwak menggunakan jari tangan atau potongan kain maka ia mendapat dari sunnah sesuai kadar kebersihannya.

~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Koto Tangah – Kota Padang
12:52 | Rabu, 20 Desember 2017

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.