Header Ads

023. Hukum Daging Keledai – Kitab Bulughul Maram


وَعَنْهُ قَالَ: - لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ, أَمَرَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَبَا طَلْحَةَ, فَنَادَى: "إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ اَلْحُمُرِ (اَلْأَهْلِيَّةِ), فَإِنَّهَا رِجْسٌ" - مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ.
“Dan Juga Dari Anas bin Malik, ia berkata: -Ketika hari penaklukan Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abu Thalhah, kemudian ia menyeru: ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari (mengkonsumsi) daging keledai (peliharaan), karena ia adalah rijs’.” [Muttafaq ‘alaih]
Penjelasan:
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam kitabnya Tas-hiil al-Ilmaam bi fiqh al-Ahadits min Bulugh al-Maram (I/91-93):
Khaibar adalah salah satu benteng Yahudi yang terletak di Utara Madinah, di dalamnya ada kebun-kebun dan pohon kurma. Tempat ini sampai sekarang masih dinamakan Khaibar. Nabi memerangi tempat ini setelah peristiwa sulhu al-hudaibiyyah (perjanjian Hudaibiyyah). Tempat ini didiami oleh orang-orang Yahudi ditambah Yahudi dari Madinah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepungnya dan Allah menaklukkannya melalui tangan Ali bin Abi Thalib yang diberikan bendera oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika hari pengepungan benteng Khaibar ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thalhah al-Anshari, nama aslinya adalah Zaid bin Sahl ia merupakan shahabat yang mulia dan terkenal, ia juga merupakan suami dari Ummu Sulaim ibu dari Anas bin Malik pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Thalhah diperintahkan oleh Nabi untuk menyeru atau memberitahukan  orang-orang dengan meninggikan suaranya (Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari (mengkonsumsi) daging keledai (peliharaan)). Daging keledai liar adalah halal dan suci, adapun daging keledai peliharaan adalah najis dengan adanya keterangan hadits ini dan selainnya. (ia adalah rijs) padahal ketika itu, para shahabat sedang dilanda lapar yang sangat pada peperangan itu. Maka mereka memakan keledai, memasaknya dan memakannya. Tetapi datang larangan dari Allah dan rasul-Nya, maka mereka menumpahkan atau membalikkan kuali-kuali mereka yang berisi daging yang sudah mendidih.
Faidah hadits:
Pertama; hadits ini menunjukkan haramnya daging keledai peliharaan, hal ini hampir disepakati oleh para ulama, kecuali riwayat ‘Abdullah bin ‘Abbas yang menyebutkan bahwa beliau menolak keharamannya. Namun mayoritas ulama menyatakan hukum daging keledai peliharaan adalah haram.
Kedua; keledai peliharaan hukumnya najis, karena sabda Nabi “rijs” yang berarti najis. Ini adalah tujuan Ibnu Hajar meletakkan hadits ini pada bab ini. Karena keledai peliharaan adalah najis maka semua yang keluar darinya juga najis, yaitu sisa air minumnya, air liurnya, kotorannya dan kencingnya, namun dikecualikan keringatnya.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam dalam kitab Taudhiih al-Ahkaam min Buluugh al-Maraam:
(خَيْبَرَ) daerah di Utara Madinah jaraknya sekitar 160 KM, penduduknya adalah segolongan orang Yahudi, lalu Nabi membebaskannya/membukanya dengan sunnah pada tahun ketujuh Hijriah. (لُحُومِ) daging dari tubuh hewan dan burung. (اَلْحُمُرِ) jamak dari himaar, ia adalah binatang jinak sejenis kuda dipergunakan untuk membawa barang atau dikendarai, bentuk muannats-nya adalah himaarah. (اَلْأَهْلِيَّةِ) peliharaan, yaitu hewan yang jinak, lawan dari liar/buas. (رِجْسٌ) kotor dan haram, biasanya bermakna kotor (qadzar).
Faidah hadits:
a)      Najisnya keledai peliharaan baik dagingnya, darahnya, kencingnya maupun kotorannya.
b)      Adapun muntahannya, keringatnya ataupun badannya, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
c)      Haram memakan dagingnya dan meminum susunya, karena ia rijs; rijs adalah kotor dan haram.
d)     Dikhususkan keledai peliharaan, menunjukkan halalnya keledai liar, karena ia merupakan binatang buruan yang suci dan halal.
e)      Sebab haramnya adalah karena ia rijs. Hal ini menunjukkan bahwa setiap yang najis pasti haram, Tatkala hal itu membahayakan kesehatan. Rijs adalah haram dan kotor.
f)       Perbedaan pendapat di kalangan ulama: apakah badan, keringat, serta air/lendir yang keluar dari mulut atau hidungnya bighal dan keledai peliharaan, najis atau tidak?
·         Sebagian ulama: najis.
·         Imam Malik dan al-Syafi’i: suci, sebagaimana kucing. Ini juga pendapat Syaikh al-Sa’di dan Alu Syaikh. Alasannya adalah:
ü  Nabi dan para shahabat menungganginya.
ü  Berdalil dengan hadits tentang kucing yang tidak najis dan merupakan hewan yang banyak berkeliaran di lingkungan manusia.
ü  Kembali kepada kaidah “al-masyaqqatu tajlibu al-taisiir”, maka sangat sulit bagi seseorang yang menungganginya harus menghindarkan diri dari keringatnya dan lain-lain.

Imam al-Nawawi mengatakan dalam Kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj bahwa hukum daging keledai peliharaan adalah najis dan haram:
قوله ( ان النبى صلى الله عليه و سلم قال فى قدور لحوم الحمر الأهلية أهريقوها واكسروها فقال رجل أو نهريقها ونغسلها قال أو ذاك ) هذا صريح فى نجاستها وتحريمها ويؤيده الرواية الأخرى فانها رجس وفى الآخرى رجس أو نجس وفيه وجوب غسل ما أصابته النجاسة وأن الاناء النجس يطهر بغسله مرة واحدة ولا يحتاج إلى سبع اذا كانت غير نجاسة الكلب والخنزير

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga berpendapat bahwa hukumnya adalah najis dan haram sebagaimana beliau katakan dalam kitab Fath al-Baari Syarh Shahih al-Bukhari (9/812):
قلت ما ادعاه من الإجماع مردود فإن كثيرا من الحيوان الأهلي مختلف في نظيره من الحيوان الوحشي كالهر وفي الحديث أن الذكاة لا تطهر ما لا يحل أكله وأن كل شيء تنجس بملاقاة النجاسة يكفي غسله مرة واحدة لإطلاق الأمر بالغسل
Adapun menurut Imam al-Syafi’i sebagaimana mana dalam kitab al-Umm (2/649), beliau mengharamkannya:




~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Lubuk Buaya, Kota Padang
02:22 | Jum’at, 08 Desember 2017


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.