Pengantar Bab Menghilangkan Najis dan Penjelasannya
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam kitabnya Tas-hiil
al-Ilmaam bi fiqh al-Ahadits min Bulugh al-Maram (I/87-88):
Tatkala shalat menuntut sucinya
seseorang dari hadats dan najis, maka penulis mengaitkan bab ini,
yaitu bab menghilangkan najis, yakni dalam shalat. Hadats dan najis
harus dihilangkan dari badan, pakaian dan tanah (tempat) shalat ketika akan
shalat. Karena orang yang shalat disyaratkan harus suci dari hadats dan najis
yang ada pada badan, pakaian dan tempat shalat, karena adanya banyak dalil,
diantaranya:
Bahwasannya Rasulullah r –sebagaimana hadits telah lalu- meminta shahabat untuk mengambil
seember air lalu disiramkan ke atas kencingnya Arab Baduwi yang kencing di
salah satu sisi masjid.
Diantaranya lagi, bahwa Rasulullah r ketika shalat pada suatu hari pernah melepas kedua sandalnya
[ketika itu beliau dan para shahabat shalat menggunakan sandal-pentj.],
maka para shahabat pun ikut melepaskan sandal. Tatkala selesai salam,
beliau menjelaskan bahwa Jibril mengabarinya bahwa di kedua sandalnya ada khabats
(kotoran najis). Hal ini menunjukkan disyaratkannya sucinya pakaian di dalam
shalat, dan hadits orang baduwi menunjukkan disyaratkannya sucinya tempat
shalat.
Rasulullah r juga pernah menyuruh wanita yang pakaiannya terkena darah haidh
untuk mencucinya.
Semua ini menunjukkan disyaratkannya
sucinya pakaian, tempat dan badan.
Najis terbagi menjadi dua:
Pertama, najasah ‘ainiyyah (najis secara dzatnya) yang tidak
mungkin untuk dihilangkan. Seperti: najisnya anjing, babi, kencing, dan kotoran
(tahi), ini merupakan najis secara dzatnya. Sehingga seandainya anjing dan babi
dicuci berkali-kali, tidak akan hilang najisnya, karena memang dzatnya yang
najis.
Kedua, najis hukmiyyah (najis secara hukum): yaitu najis yang datang
secara tiba-tiba mengenai benda yang suci, seperti yang terjadi pada pakaian,
badan atau tanah. Najis yang jenis kedua ini yang dimaksudkan oleh penulis
dalam bab ini.
Menghilangkan najis: maknanya adalah menghilangkannya dengan cara dicuci sampai tidak
tersisa bekasnya baik warna, rasa maupun baunya.
Najis hanya bisa dihilangkan dengan
air. Karena air adalah asal/inti thaharah. Sebagaimana firman Allah I:
ÙˆَÙŠُÙ†َزِّÙ„ُ
عَÙ„َÙŠۡÙƒُÙ… Ù…ِّÙ†َ ٱلسَّÙ…َآØ¡ِ Ù…َآØ¡ٗ Ù„ِّÙŠُØ·َÙ‡ِّرَÙƒُÙ… بِÙ‡ِÛ¦ ١١
“dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk
mensucikan kamu dengan hujan itu” (al-Anfal: 11)
ÙˆَØ£َنزَÙ„ۡÙ†َا
Ù…ِÙ†َ ٱلسَّÙ…َآØ¡ِ Ù…َآØ¡ٗ Ø·َÙ‡ُورٗا ٤٨
“dan Kami turunkan dari langit air yang amat thahuur (suci dan
mensucikan)” (al-Furqan: 48)
Oleh karena itu, thahaarah (bersuci) hanya bisa dihasilkan
dengan air. Seandainya najis dihilangkan dengan selain benda cair selain air
maka ini tidak cukup, bahkan harus dihilangkan dengan air.
~ Abu Ahmad, Ayatullah ~
Perumahan POLRI "Bunga Tanjung Indah" - Kota Padang
Tidak ada komentar